Etika Syar’i bagi Perempuan dalam Hal Menuntut Ilmu
Tidaklah diragukan bahwa perempuan
sederajat dengan lelaki dalam hal kewajiban menjalankan perintah agama.
Bahwa, kewajiban menjalankan perintah itu mencakup seluruh perintah
agama, yakni memurnikan tauhid, shalat, zakat, haji, puasa, …, dan
sebagainya.
Setiap muslim dan muslimah telah memaklumi
bahwa perintah-perintah agama itu memiliki syarat-syarat, rukun-rukun,
dan ketentuan-ketentuan yang harus terpenuhi guna keabsahan suatu ibadah
atau memenuhi kesempurnaan ibadah. Sementara itu, tiada jalan untuk
memahami dan menjalankan ibadah tersebut sesuai dengan tuntunannya yang
benar, kecuali dengan cara menuntut ilmu agama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.”[1]
Ibnul Jauzy rahimahullah berkata,
“Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Oleh karena
itu, dia wajib menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan
terhadapnya agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan.”[2]
Tercatat indah dalam sejarah, perihal semangat para shahabiyat radhiyallahu ‘anhunna
dalam hal menuntut ilmu dan bertanya akan berbagai problemetika yang
tengah mereka hadapi tanpa terhalangi oleh rasa malu mereka. Hal
tersebut menunjukkan kewajiban menuntut ilmu yang tertanam dalam
jiwa-jiwa mereka yang terpuji. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
نِعْمَ النِّسَاءِ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ لَمْ يَكُنْ يَمْنَعُهُنَّ الْحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِي الدِّينِ
“Sebaik-baik perempuan adalah para perempuan Anshar. Tidaklah rasa malu menghalangi mereka untuk tafaqquh (memperdalam pemahaman) dalam agama.” [3]
Masih banyak lagi dalil yang menunjukkan
kewajiban seorang perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan, seluruh dalil
dari Al-Qur`an dan Sunnah, yang menjelaskan tentang kewajiban dan
keutamaan menuntut ilmu, juga merupakan dalil akan kewajiban perempuan
dalam menuntut ilmu karena perintah pada dalil-dalil itu bersifat umum,
mencakup seluruh umat: laki-laki dan perempuan.
Ketentuan Pembolehan Perempuan Keluar untuk Menuntut Ilmu
Menetapnya perempuan di rumah adalah suatu hal yang wajib berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى.
“Dan hendaklah kalian menetap di rumah
kalian serta janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah dahulu.” [Al-Ahzab: 33]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian menahan kaum perempuan kalian dari masjid-masjid. Namun, rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” [4]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pula,
إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَاجَتِكُنَّ
“Sesungguhnya kalian telah diizinkan keluar untuk keperluan kalian.” [5]
Dalil-dalil di atas merupakan penjelasan
bahwa hukum asal terhadap perempuan adalah menetap di rumahnya dan tidak
boleh keluar dari rumahnya, kecuali untuk hal darurat atau keperluan
yang dibenarkan oleh syariat.
Tentunya, keluar untuk menuntut ilmu adalah
salah satu keperluan yang diizinkan oleh syariat, apalagi jika yang dia
tuntut adalah ilmu yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya.
Banyak dalil yang menunjukkkan akan hal tersebut. Di antaranya adalah:
Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحِي مِنْ الْحَقِّ فَهَلْ عَلَى
الْمَرْأَةِ غُسْلٌ إِذَا احْتَلَمَتْ فَقَالَ نَعَمْ إِذَا رَأَتْ
الْمَاءَ
“Ummu Sulaim mendatangi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Allah tidaklah malu terhadap kebenaran. Apakah perempuan
wajib mandi bila ia mimpi basah?’ Beliau menjawab, Iya, bila melihat
air.’.” [6]
Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau berkata,
جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ
أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا
أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ
وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ
وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي
“Fathimah bintu Abi Hubaisy mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
saya adalah perempuan yang sedang istihadhah dan tidak suci. Apakah saya
(harus) meninggalkan shalat?’ Maka beliau menjawab, ‘Tidak karena
sesungguhnya itu hanyalah sekedar urat, bukan haidh. Apabila (masa)
haidhmu telah tiba, tinggalkanlah shalat, sedangkan apabila (masa
haidhmu) telah berlalu, cucilah darah darimu kemudian kerjakanlah
shalat.’.” [7]
Hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata,
قَالَتْ النِّسَاءُ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ
الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا
لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ
“Para perempuan berkata kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kaum lelaki telah mengalahkan kami
terhadapmu maka jadikanlah suatu hari (khusus) dari dirimu untuk kami.’
Maka, beliau menjanjikan mereka suatu hari untuk menemui mereka pada
(hari) tersebut, lalu (beliau) menasihati mereka dan memerintah mereka.” [8]
Demikian beberapa dalil yang menunjukkan pembolehan seorang perempuan untuk keluar dalam rangka menuntut ilmu agama.
Namun, harus diketahui bahwa pembolehan
kepada perempuan untuk keluar menuntut ilmu adalah dengan beberapa
ketentuan dan etika, yang di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Orang Yang Mengajar Dia Tidak Terpenuhi dari Pihak Mahramnya
Jika orang yang mengajarkan ilmu kepadanya,
guna mencukupi kebutuhan ilmu yang dia tuntut, telah terpenuhi dari
pihak mahramnya -baik ayah, saudara, suami, anak, maupun yang
semisalnya-, menetap di rumah adalah hal yang paling layak baginya
berdasarkan dalil-dalil yang telah berlalu.
Ibnul Jauzy rahimahullah berkata,
“Perempuan adalah seorang yang mukallaf seperti laki-laki. Oleh karena
itu, dia wajib menuntut ilmu tentang perkara-perkara yang diwajibkan
terhadapnya agar ia menunaikan ibadah tersebut di atas keyakinan.
Apabila ia mempunyai ayah, saudara, suami, atau mahram yang bisa
mengajarkan hal-hal yang diwajibkan dan menuntunkan cara menunaikan
keawajiban-kewajiban tersebut, hal itu telah mencukupinya. Bila tidak,
dia bertanya dan belajar.”[9]
Merupakan catatan penting yang harus
diingat, hajat perempuan untuk keluar menuntut ilmu bergantung kepada
jenis ilmu yang dia akan pelajari. Demikianlah karena ilmu itu ada yang
bersifat wajib ‘ain untuk dipelajari, bahwa, tatkala tidak mengetahui
ilmu tersebut, seorang muslimah dianggap berdosa dan menelantarkan
kewajibannya. Ada juga ilmu yang bersifat fardhu kifayah, bahwa
kewajiban mempelajarinya menjadi gugur bila telah terdapat sekelompok
manusia yang telah mencukupi kaum muslimin lain dalam mempelajarinya.
Adalah fardhu ‘ain terhadap seorang
muslimah, mempelajari tentang cara memurnikan ibadah kepada Allah dan
menauhidkan-Nya. Oleh karena itu, sangat wajar bila mempelajari dan
meyakini tauhid rububiyah, uluhiyah, dan Al-Asma’ wa Ash-Shifat-Nya serta membersihkan diri dari segala noda kesyirikan dan penyimpangan adalah tugas pokok muslimah tersebut.
Seorang muslimah juga wajib memahami
hukum-hukum seputar thaharah -tata cara berwudhu, mandi haidh dan junub,
tayyammum, serta hukum-hukum haidh, istihadhah, dan nifas- sebagaimana
juga wajib mendalami tuntunan shalat, zakat, haji, dan puasa yang benar.
Dia Juga wajib mempelajari hukum ihdad, batasan-batasan aurat, syarat-syarat keluar rumah, dan lain-lain.
Yang jelas, setiap perkara yang mesti
diamalkan oleh seorang muslimah dalam menegakkan peribadahan kepada
Rabb-nya merupakan suatu kewajiban untuk dipelajari dan didalami.
Tentunya, tingkat kewajibannya berjenjang sesuai dengan jenis ibadah
wajib yang mesti dia laksanakan.
2. Ada Keperluan yang Mendesak untuk Keluar
Yakni seperti bila seorang muslimah mengalami sebuah problematika yang harus dijawab dan dijelaskan secara syar’i,
sedang tidak ada orang di antara mahramnya yang bisa menjelaskan atau
mempertanyakan problematika tersebut kepada seorang alim yang
terpercaya.
Pada masa ini, kita patut senantiasa
bersyukur kepada Allah akan berbagai kemudahan dan fasilitas yang
diberikan kepada kita sehingga, dengan sangat mudah, kita bisa
mempertanyakan masalah-masalah yang kita hadapi kepada ahlul ‘ilmi dalam jangka waktu singkat, baik melalui media komunikasi, surat, dan media lain.
Tentunya, keterangan di atas dibangun di atas dalil-dalil yang telah berlalu.
3. Bertanya kepada Orang yang Tepat
Apabila, dari kalangan perempuan, terdapat
orang yang berilmu dan bisa memberikan penjelasan kepada kita, maka
tiada pilihan bagi kita untuk bertanya kepada kaum lelaki. Demikian
pula, di antara orang-orang yang berilmu, dia memilih orang yang paling
alim.
4. Sebatas Keperluan
Dalam posisi seorang muslimah bertanya
lansung kepada seorang alim, bila sang alim telah menjawab atau telah
menjelaskan keperluannya, dia tidak boleh memperbanyak pembicaraan
dengan sang alim tersebut karena dikhawatirkan bila hal itu akan
menimbulkan fitnah. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا.
“Maka janganlah kalian merendahkan
suara dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang memiliki
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” [Al-Ahzab: 32]
5. Tidak Boleh Bercampur-Baur (Ikhtilath) dengan Guru atau Murid Lelaki yang Ada di Majelis
Hal tersebut berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berduaan dengan perempuan, kecuali bila ada mahram bersama (perempuan) itu.”[10]
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ
“Berhati-hati kalian terhadap menjumpai perempuan,”
maka seorang lelaki dari Al-Anshar berkata, “Bagaimana pendapat engkau tentang Al-Hamw[11]?” Beliau menjawab,
الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Al-Hamw adalah maut.” [12]
6. Bertanya Melalui Belakang Hijab serta Tidak Memandang Laki-Laki yang Bukan Mahramnya
Hal tersebut berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ.
“Apabila meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang hijab.” [Al-Ahzab: 53]
Juga dalam firman-Nya,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya.” [An-Nur: 31]
Demikianlah beberapa etika dan adab dalam
menuntut ilmu. Tentunya, bagi seorang muslimah ketika keluar dari
rumahnya -guna menuntut ilmu atau selainnya- ada beberapa etika dan adab
yang telah dimaklumi, seperti berhijab dengan hijab syar’i sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ.
“Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak padanya. Hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya.” [An-Nur: 31]
Dia tidak boleh menampakkan keindahannya sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى.
“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.” [Al-Ahzab: 33]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ
النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ
يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ
مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا
يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ
مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan di antara penduduk
Neraka yang belum pernah saya lihat sebelumnya: (1) Kaum yang mempunyai
cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi yang digunakan untuk memukul
manusia, serta (2) para perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang,
berjalan berlenggak-lenggok, yang kepala mereka seperti punuk unta.
Mereka tidaklah masuk surga tidak pula menghirup bau (surga), padahal
bau (surga) dapat dihirup dari jarak demikian dan demikian.” [13]
Dia tidak boleh keluar dari rumah dengan memakai wewangian sebagaimana dalam hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِقَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Perempuan mana saja yang memakai
wewangian lalu melewati suatu kaum sehingga mereka mencium bau
(wewangian)nya maka ia adalah seorang pezina.” [14]
Beberapa Akhlak Terpuji bagi Seorang Penuntut Ilmu
Seorang penuntut ilmu hendaknya berhias
dengan mahligai ketakwaan dalam zhahir dan batinnya serta mengikhlaskan
niatnya karena Allah. Makna ikhlas yaitu engkau meniatkan upaya dan
usahamu dalam menuntut ilmu guna mengangkat kejahilan dari dirimu dan
guna memurnikan ibadah kepada Allah dengan cara yang benar. Allah Ta’ala berfirman,
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
“Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan ilmu kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Baqarah: 282]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap amalan sesuai dengan niatnya, sedang setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.”
Ibrahim An-Nakha’iy rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah, Allah akan memberikan sesuatu yang mencukupinya.”[15]
Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah
berkata pula, “Barangsiapa yang menuntut suatu ilmu, lalu menghendaki
apa-apa yang ada di sisi Allah, ia akan mendapatkan sesuatu tersebut
-insya Allah-. Namun, barangsiapa yang menghendaki dunia melalui hal
(menuntut ilmu) itu, -demi Allah- itulah bagiannya dari ilmu itu.”[16]
Hendaknya engkau memakmurkan zhahir dan
bathinmu dengan rasa takut kepada Allah serta terus menerus merenungi
kekuasaan dan kebesaran Allah. Ketahuilah bahwa ilmu itu bukanlah
sekedar pengetahuan tanpa ada khasy-yah (rasa takut) kepada Allah.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ilmu itu bukanlah dengan banyak periwayatan, melainkan ilmu itu adalah Al-Khasy-yah.”[17]
Bahkan, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” [Fathir: 28]
Bersemangatlah kalian, wahai para penuntut
ilmu, untuk beramal dengan ilmu yang telah engkau pelajari sebab ilmu
itu dipelajari untuk diamalkan. Dengan mengamalkan ilmu itu, engkau akan
mendapat tambahan anugerah ilmu serta berbagai keutamaan dan kebaikan.
Allah ‘Azza wa Jalla telah menjanjikan sebagaimana dalam firman-Nya,
وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا
مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا.
وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا. وَلَهَدَيْنَاهُمْ
صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا.
“Dan sesungguhnya, kalau mereka
mengamalkan (ilmu) yang diberikan kepada mereka, tentulah hal itu lebih
baik bagi mereka dan lebih menguatkan (mereka). Apabila demikian, pasti
Kami melimpahkan pahala yang besar kepada mereka dari sisi Kami, dan niscaya Kami memberi hidayah kepada mereka menuju jalan yang lurus.” [An-Nisa`: 66-68]
Berkomitmenlah kalian dalam menegakkan
ibadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah
yang disunnahkan sebab itu adalah salah satu sifat orang yang faqih
(paham agama). Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah berkata, “Orang
yang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia, mendalam ilmu
agamanya, dan terus menerus berada di atas ibadah kepada Rabb-nya.”[18]
Peliharalah oleh kalian segala perintah dan
ketentuan Allah pada diri kalian dan janganlah engkau menelantarkan
perintah dan ketentuan tersebut. Ingatlah selalu wejangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Jagalah (batasan-batasan) Allah,
niscaya Allah akan senantiasa menjagamu. Jagalah (batasan-batasan)
Allah, niscaya engkau akan mendapati Allah di hadapanmu.” [19]
Berhati-hatilah kalian, wahai saudari
penuntut ilmu, terhadap sifat hasad sebab itu adalah penyakit yang telah
banyak menghambat jalan para penuntut ilmu. Allah telah mengingatkan
dalam firman-Nya,
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ.
“Ataukah mereka dengki terhadap manusia lantaran karunia yang telah Allah berikan kepadanya?” [An-Nisa`: 54]
Obatilah penyakit itu oleh kalian dengan selalu mengingat firman-Nya,
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ.
“Antara mereka, Kami telah menentukan
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebagian mereka terhadap sebagian yang lain sebanyak beberapa derajat.” [Az-Zukhruf: 32]
Waspadalah kalian terhadap sikap bangga akan ilmu yang engkau dapatkan dan hindarkanlah dirimu terhadap sikap congkak. Allah Jalla Jalaluhu telah mengingatkan,
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ.
“Dan janganlah engkau memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah engkau berjalan di
muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman: 18]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat sikap sombong sebesar dzarrah.” [20]
Semoga Allah memudahkan segala jalan dalam menuntut ilmu serta membukakan pintu-pintu kebaikan dan rahmat untuk kita semua. Wallahu Ta’ala A’lam.
[1] Hadits hasan, diriwayatkan oleh sejumlah shahabat. Dishahihkan oleh Al-Albany -dalam Takhrij Musykilah Al-Faqr
hal. 80- dan dihasankan oleh Syaikh Muqbil –sebagaimana yang kami
dengar dari beliau-. As-Suyuthy mempunyai risalah tersendiri dalam
mengumpulkan jalan-jalan periwayatan hadits ini.
[2] Ahkam An-Nisa` karya Ibnul Jauzy hal. 7.
[3] Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
[4] Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqy dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Dishahihkan oleh Al-Albany dari seluruh jalannya dalam Irwa` Al-Ghalil 2/294 dan Ats-Tsamr Al-Mustathab 2/730.
[5] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim.
[6] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.
[7] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah.
[8] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, dan An-Nasa`iy.
[9] Ahkam An-Nisa` karya Ibnul Jauzy hal. 7.
[10] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, dan An-Nasa`iy.
[11] Yang dimaksud dengan Al-Hamw
di sini adalah kerabat suami, seperti saudara, anak saudara, paman,
anak paman, dan yang semisalnya. Demikian keterangan An-Nawawy dalam Al-Minhaj 7/161-162 (cet. Dar ‘Alam Al-Kutub).
[12] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary, Muslim, At-Tirmidzy, dan An-Nasa`iy.
[13] Dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
[14] Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan An-Nasa`iy dengan sanad yang shahih.
[15] Dikeluarkan oleh Ad-Darimy dengan sanad yang shahih.
[16] Dikeluarkan oleh Ad-Darimy dengan sanad yang shahih.
[17] Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dengan sanad yang shahih.
[18] Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dengan sanad yang hasan.
[19] Dikeluarkan oleh Ahmad dan At-Tirmidzy dengan sanad yang hasan.
[20] Dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzy, dan Ibnu Majah.
0 komentar:
Posting Komentar