Senin, 11 Juli 2011

Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (II)

Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syariat Islam Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (II)
 11:52 TIM JLC

B. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
1. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Fiqh Jinayah.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qu’ran :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum (mengadili, membuat keputusan) diantara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha Mendengar lagi maha melihat. (QS.An-nisa’58).[1]

Wahai orang–orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang–orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali–kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (kepada mereka). Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-maidah-8).[2]

Perempuan yang berzina dan laki–laki yang berzina, maka cambuklah dari mereka seratus kali cambuk, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan Agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari kiamat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman tersebut disaksikan oleh sekumpulan orang–orang yang beriman. (QS.An-nur-2).[3]

Dan orang–orang yang menuduh wanita baik–baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka untuk selama–lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-nur-4).[4]

Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah di atas pidana atas anggota badan, terdiri dari bermacam–macam bentuk. Bentuk–bentuk operasional pidana badan ini antara lain meliputi, pidana potong tangan dan kaki, pidana dera atau cambuk, pidana pemukulan, pidana qishas (pelukaan anggota badan), serta pidana rajam (pidana dera sampai mati) yang merupakan gabungan antara pidana atas jiwa dan pidana atas badan.
rajam (pidana dera sampai mati) yang merupakan gabungan antara pidana atas jiwa dan pidana atas badan.
Hukuman cambuk ini disebut dalam Al-quran untuk tindak pidana zina (Al Nur : 4); dan dalam beberapa hadist untuk pidana khamar ( minuman keras ) dan ta‘zir. Jumlah sebatan yang disebut untuk zina adalah 100 kali sedangkan terhadap pidana qadzaf ( menuduh orang lain berzina ) adalah 80 kali. untuk hukuman terhadap pemabuk berdasarkan beberapa hadist ialah 40 kali. Pada masa Umar, hukuman 40 kali ini justru ditambah menjadi 80 kali. Rupanya Umar melihat bahwa cambuk 40 kali itu tidak mempan lagi dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat seperti Ali dan mereka sepakat menetapkan cambuk 80 kali bagi peminum khamar.

Batas hukuman cambuk untuk pidana ta’zir menurut Abu Hanifah, cambuk paling rendah dalam hudud (bentuk plural dari had) adalah 40 kali untuk khamar. Jadi batas tertinggi untuk ta’jir adalah 39 kali. Menurut Abu Yusuf , jumlah hukuman cambuk bagi pidana ta’zir tidak boleh lebih dari 75 kali dengan rumus cambukan had terendah 80 kali dikurang 5 kali.

Menurut Malikiyah, tidak ada batasan jumlah cambukan ta’zir. Sepenuhnya terserah pada ijtihad imam (baca : pemerintah atau pembuat undang–undang / qanun atau pengadilan). Bahkan Imam dapat/ berhak untuk menetapkan hukuman ta’zir setara, kurang atau melebihi hukuman had (lihat, al-zuhaili, juz VI : 206).

Hukuman cambuk disebut secara jelas didalam Al-Quran dalam surat An-nur ayat 2 dan 4, ketika menjelaskan hukuman untuk penjina (seratus kali cambuk) dan hukuman untuk penuduh berbuat jina (80 kali dera). Di dalam hadist hukuman cambuk dijatuhkan pula untuk para peminum khamar. Catatan sejarah mengatakan bahwa hukuman cambuk betul–betul telah dipraktekan pada masa Rasullullah dan masa khulafa’ur Rasyiddin. Dalam cerita rakyat Aceh dan dan dalam buku hukum positif yang berlaku pada masa kesultanan dahulu pun hukuman cambuk sering dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan ditengah masyarakat. Dengan demikian kuat tertanam di dalam kesadaran khalayak, bahwa hukuman cambuk adalah perintah Agama yang dituliskan didalam kitab suci, telah dilaksanakan dalam sejarah, dan karena itu perlu dilaksanakan dengan tulus dan sungguh di dalam hidup kemasyarakatan dan kenegaraan sekarang ini.

2. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Menurut Qanun Propinsi NAD.
Dengan diberlakukannya Undang–undang No. 44 Tahun 1999, keistimewaan yang selalu disebut–sebut sebagai ciri utama dan telah menjadi identitas Aceh sejak tahun 1959 itu di harap akan jadi lebih nyata dan betul–betul dapat diimplementasikan ditengah–tengah masyarakat. Dalam penjelasan resmi undang-undang No. 44 Tahun 1999 ini antara lain dinyatakan :

Isi keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/ Missi/ 1959 tentang keistimewaan Provinsi Aceh ysng meliputi Agama, peradatan dan pendidikan, yang selanjutnya diperkuat dengan undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Untuk menindak lanjuti ketentuan–ketentuan mengenai keistimewaan Aceh tersebut dipandang perlu untuk menyusun penyelenggaraan keistimewaan Aceh tersebut dalam suatu undang – undang.

Undang–undang yang mengatur mengenai penyelenggaraan Keistimewaan Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh ini dimaksud untuk memberikan landasan bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengatur urusan–urusan yang telah menjadi keistimewaannya melalaui kebijakan Daerah dalam mengatur pelaksanaanya sehingga kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasi masyarakat Aceh.

Seperti terlihat penjelasan ini menyatakan bahwa undang–undang tersebut adalah dibuat untuk menjalankan keistimewaan yang diberikan pada tahun 1959 dahulu bahkan ditambah dengan satu keistimewaan lagi, yaitu peran ulama dalam menetapkan kebijakan daerah.

Mengenai pelaksanaan Syariat Islam, pasal 4 menyatakan:
(1) penyelenggaraan kehidupan beragama didaerah di wujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam beermasyarakat.
(2) daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama.

Sedangkan makna atau cakupan Syari’at Islam yang akan dilaksanakan dan beberapa istilah lain yang berkaitan dengannya dijelaskan dalam pasal 1 tentang ketentuan umum sebagai berikut:

1. Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah;
2. Kebijakan daerah adalah peraturan daerah atau keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan;
3. Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.
4. Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islam yang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikan sebagai landasan hidup.

Dari kutipan diatas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
Pertama pemerintah mengakui bahwa keistimewaan yang diberikan kepada Aceh di bidang pendidikan, Agama dan peradatan pada tahun 1959 dahulu, tidak mempunyai peraturan pelaksana yang memungkinkannya di jalankan ditengah masyarakat. Ketiadaan peraturan pelaksana itulah yang ingin diatasi, yaitu mengeluarkan Undang–undang No. 44 Tahun 1999, lebih kurang 40 tahun setelah keistimewaannya diberikan. Kelihatannya dengan undang–undang ini pemerintah ingin mengoreksi kebijakan yang selama ini diambil, yang cendrung mengabaikan pengorbanan, kesetiaan, dan hak–hak khusus Aceh yang sejak lama telah diakui dan dibanggakan.

Kedua, Syari’at Islam telah didefenisikan secara relatif lengkap, yaitu mencakup seluruh ajarannya (terutama ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan). Jadi Undang–Undang ini telah memberikan pemahaman yang kaffah, kepada Syari’at Islam, mencakup ibadat, muamalat, jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu mencakup aqidah serta ahklak dan semua ajaran dan tuntunan diberbagai bidang lainnnya. Sedang mengenai pendidikan dan peradatan yang dalam pemahaman masyarakat adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pada pelaksanaan Syari’at Islam, dalam rumusan undang–undang diatas telah merupakan keistimewaan tersendiri, karena itu dalam penjelasan tentang Syari’at Islam, kedua istilah ini tidak lagi dimasukan.

Ketiga, Umat Islam di Aceh diberi izin untuk menjalankan Syari’at Islam di dalam kehidupannya, sebagai pengakuan atas keistimewaan Aceh. Istilah dalam bermasyarakat yang disebutkan dalam pasal 4 ayat (2) diatas, menurut beberapa anggota DPR yang menyusun rumusan ini (antara lain M. Kaoy Syah), wakil Pemerintah pusat dalam team pembahasan (Zainal Abidin, SH) dan juga utusan Aceh dalam pembahasan pasal diatas (almarhum Safwan Idris), adalah untuk menegaskan dan menguatkan bahwa Syari’at Islam yang akan dilaksanakan di Aceh bukan hanya aturan di bidang Ibadat, tetapi mencakup aturan–aturan selebihnya dalam hidup bermayarakat. Jadi kelihatannya tambahan tersebut dimasukan untuk menguatkan makna kaffah yang ada pada Syariat Islam itu sendiri.[5]

Ketika Undang–Undang Nomor 44 Tahun 1999 disahkan, oleh rakyat Aceh disambut dengan “Pengadilan Rakyat” yang menjatuhkan hukuman badan kepada para penjudi, peminum minuman keras dan pelaku perbuatan mesum. Pengadilan dan penjatuhan hukuman ini digelar dihampir semua Kabupaten, sehingga ada sekitar 40 kasus dalam waktu empat bulan. “ pengadilan liar” ini baru berhenti setelah para ulama turun memberikan penjelasan bahwa didalam Syariat Islam, hukuman hanya dapat di jatuhkan oleh pengadilan yang sah dan berwenang, dan hanya dapat dilaksanakan oleh petugas yang resmi, yang diberi wewenang untuk itu. Rakyat tidak berhak melakukan pengadilan dan tidak berhak menjatuhkan hukuman.

Sejak saat ini, diberbagai kesempatan, sering terlontar pertanyaan dan tuntutan kepada para ulama, kapan Mahkamah Syar’iyah menjatuhkan hukuman kepada para pelaku kejahatan. Dan hukuman yang diminta pada umumnya adalah hukuman cambuk. Sekiranya bukan hukuman cambuk yang dijatuhkan, maka akan kuat kesan bahwa hukuman tersebut belum merupakan pelaksanaan syari’at, tetapi masih merupakan hukuman sisa peninggalan Belanda.

Dipihak lain, kadang–kadang muncul pernyataan bahwa hukuman cambuk adalah kejam, tidak manusiawi bahkan bertentangan dengan HAM. Pernyataan ini harus disikapi dengan hati–hati. Pada dasarnya semua hukuman adalah siksaan untuk memberikan penderitaan. Penderitaan atau siksaan itu dianggap boleh dan sah dijatuhkan apabila diputuskan oleh pengadilan yang sah dan berwenang untuk itu, dan dengan cara–cara yang sah pula, sehingga keputusan tersebut memenuhi rasa keadilan masyarakat. Karena itu hukuman penjara atau hukuman cambuk bukanlah pelanggaran HAM sekiranya dijatuhkan oleh pengadilan. Sebaliknya memenjarakan atau mencambuk orang tanpa ada putusan dari pengadilan yang sah akan dianggap yang lebih kejam menyiksa orang dengan hukuman penjara sehingga ia terpisah dengan keluarganya selama berbulan–bulan bahkan bertahun–tahun, dibanding dengan hukuman cambuk yang bisa dikatakan tidak sempat memisahkan Siterhukum dari keluarganya.

Lebih dari itu para ulama, para Cendikia dan Pemerintah di Aceh terasa lebih manusiawi, sekiranya bila dibandingkan dengan hukuman cambuk yang dijatuhkan di Negara lain. Hukuman cambuk di Aceh akan dihentikan sekiranya siterhukum luka (mengeluarkan darah) karena cambukan. Terhukum dibiarkan dalam keadaan bebas, tidak diikat dan tidak diberi penyangga. Dengan demi kian sekiranya terhukum tidak sanggup lagi menerima cambukan, maka dokter pengawas akan mudah mengetauinya dan pencambukan akan dihentikan. Terhukum diberi pakaian yang menutup aurat, sehingga cambuk tidak langsung mengenai kulit. Pembaca dapat membandingkan hukuman cambuk yang kita laksanakan sekarang dengan hukuman cambuk yang dijatuhkan di Singapura, Malaysia dan Pakistan.

Hukuman cambuk disamping hukuman duniawi, juga merupakan bagian dari ajaran Agama. Dengan demikian hukuman cambuk merupakan bagian dari pernyataan taubat, yang diharapkan dapat mengampuni dosa diakhirat kelak. Mungkin terhukum merasa malu dan itu adalah wajar, tetapi tidak perlu secara berlebih–lebihan, karena kegiatan ini adalah sebagian dari amal, sebagai tanda dan janji kepada Allah untuk tidak mengulangi kesalahan dimasa yang akan datang. Terhukum dan keluarga tidak perlu malu, tetapi sebaliknya merasa puas dan bangga, bahwa mereka termaksud dalam kelompok yang telah bertaubat, yang dapat merenungi dan menyadari kesalahan; termaksud “kelompok utama, para pelopor” (assabiquna-I awwalun) dalam pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh dan dalam bertaubat kepada Allah SWT. Inilah salah satu sebab kenapa halaman Masjid yang dipilih sebagai tempat pelaksanaan, agar kesyahduan dan kedekatan dengan Allah tetap terjaga dan disadari. Hukuman ini dilaksanakan ditempat terbuka yang dapat dikunjungi masyarakat luas karena Al-quran meminta untuk melaksanakan seperti itu.[6]
Secara ringkas dapat mengenai pelaksanaan hukuman bagi terdakwa pelaku pelanggaran Qanun di bidang Syariat Islam adalah sebagai berikut:

1. Pelaksana hukuman adalah Jaksa Penuntut umum

a. Hukuman kurungan (penjara) dilaksanakan sesuai dengan aturan dalam KUHAP;
b. Hukuman denda dilaksanakan sesuai dengan aturan didalam KUHAP, uang denda disetor ke Badan Baitul Mal (rekening khusus pemerintah Kabupaten);
2. Hukuman Cambuk;
a. Terhukum harus dalam kondisi sehat (dapat menjalani hukuman cambuk) menurut keterangan dokter.
b. Pencambuk adalah petugas yang sudah dilatih, yang ditunjuk oleh Jaksa penuntut umum;
c. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter antara 0,75 s.d 1,00 cm;
d. Jarak pencambuk dengan terhukum minimal 70 cm.
e. Jarak pencambuk dengan orang–orang yang menyaksikan paling dekat 10 m.
f. Pencambukan akan dihentikan sementara kalau menyebabkan luka (mengeluarkan darah) atau diminta oleh dokter atas pertimbangan medis, atau terhukum melarikan diri;
g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum menyerahkan diri atau dapat ditangkap;
h. Terhukum diberikan salinan berita acara sebagai bukti telah menjalankan hukuman.

3. Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap pelaku Pelanggaran Qanun Yang Beragama Non Muslim.

Isu akhlakuk karimah dalam penegakkan Syari’ah Islam tentu bukan tanpa alasan sosiologis yang kuat. Dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama seperti Indonesia, penegakan sebuah aturan agama tertentu sebagai dasar resmi untuk menjalankan kebijakan politik, hukum, dan sosial sehari-hari, tidak bisa langsung diterima begitu saja. Bahkan, hal itu berlawanan dengan prinsip demokrasi yang menjamin persamaan hukum dan hak bagi semua warga negara.[7]

Salah satu titik kekhawatiran beberapa pihak bila Syari’at Islam ini benar–benar di jalankan sepenuhnya di Aceh adalah posisi kaum minoritas (non-muslim). Bagaimanakah kedudukan mereka dalam konstelasi Syari’at Islam sesungguhnya? Benarkah mereka menjadi warga kelas dua yang diwajibkan membayar pajak kepala, bagaimanakah sebenarnya hak dan kewajiban mereka.

Tak dapat disangkal pertanyaan–pertanyaan semacam ini, untuk sebagiannya dipicu oleh semacam stereotype tentang Islam yang kejam, keras bahkan barangkali diasosiasikan kepada terorisme perang.

Selanjutnya, jika Syari’at Islam berlaku di Aceh akankah perlakuan–perlakuan semacam itu juga terjadi, mungkin prasangka ini menjadi bertambah dengan menyaksikan apa yang terjadi di Afganistan yang kini dikuasai oleh kaum Thaliban. Bagaimana Dunia tersentak ketika pada bulan Maret 2001 yang lalu rezim Thaliban menghancurkan patung–patung dan kuil Hindu bersejarah yang dianggap sebagai Pusaka Dunia. Tak kurang dari UNESCO yang mengeluarkan seruan agar prenghancuran patung itu dihentikan, tetapi rezim Thaliban tetap saja meneruskan rencananya. Terakhir tersiar berita kecil dari CNN tanggal 22 Mei 2001 (pukul 16.00 WIB) Rezim Thaliban mengumumkan rencananya untuk mewajibkan penganut Agama Hindu disana agar memakai pakaian khusus sebagai tanda kaum minoritas (non-muslim). Hal ini mengingatkan kita pada praktik beberapa khalifah Abbasiyah pada abad pertengahan dahulu kala.

Kini jika di Aceh diberlakukan Syari’at Islam secara menyeluruh akankah praktik serupa terulang lagi disini. Lalu apakah praktik seperti kaum Thaliban itu memang berasal dari norma Syari’at Islam, persoalan inilah yang perlu kita pelajari dengan seksama dalam kajian berikut.

Kaum Minoritas (Non Muslim) dalam literatur klasik sering disebut ahl al-dzimmah atau ahl al- mu’anadah dan sering disingkat saja dengan sebutan kaum Dzimmi. Yang dimaksud dengan istilah ini ialah semua orang yang bukan muslim yang tetap patuh dan setia terhadap aturan–aturan dalam Negara Islam dimana merekan tinggal, tanpa melihat dari mana asal mereka dan dimana mereka dilahirkan. Terhadap kelompok warga Negara ini ajaran Islam memberikan jaminan untuk melindungi mereka dalam kehidupan mereka, dalam kebudayaan, kekayaan serta kepercayaan dan kehormatan mereka (Al-mauddudi, 1967: 269).

Kata al-dzimmah berarti keamanan, perjanjian, dan jaminan. Mereka disebut demikian karena memiliki jaminan perjanjian (al-ahd) dari Allah dan Rasulnya serta dari jamaah kaum muslimin untuk hidup aman dan tenteram dibawah perlindungan Islam serta dalam lingkungan masyarakat Islam. Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin untuk hidup berdasarkan ‘aqd dzimmah. Dengan ‘aqd ini mereka memperoleh hak–hak serta kewajiban–kewajiban yang sama dengan warga Negara lainnya (Al-Qardhawi, t.th: 19). Atas dasar itu, kaum minoritas (non-muslim) termaksud ahl dar al-islam (warga Negara Islam) dan menurut Yusuf Al-qardhawi, berlaku untuk selama–lamanya serta mengandung ketentuan membolehkan orang–orang non muslim yang bersangkutan tetap dalam Agama mereka. Selain itu, mereka juga berhak menikmati perlindungan dan perhatian dari jamaah kaum muslimin, dengan syarat mereka membayar jizyah serta berpegang pada ketentuan hukum setempat dalam hal–hal yang tidak berhubungan langsung dengan masalah–masalah agama. Hal ini pada prinsipnya juga setara dengan kaum muslimin sendiri. Kaum dzimmi berhak mendapat perlindungan , berkewajiban membayar jizyah. Kaum muslimin juga berhak mendapat perlindungan, namun wajib membayar zakat.

Pendapat al-Qardhawi, aqd al dzimmah berlaku selama – lamanya, kiranya harus ditambahkan dengan catatan bahwa ikatan yang terjadi haruslah berdasarkan kesepakatan dan kerelaan masing–masing. Sebab aqd al dzimmah tidaklah dapat dipaksa bahwa ia untuk selama–lamanya harus menetap diwilayah Islam, jika suatu saat ia memutuskan untuk memilih tempat lain.[8]

Selain itu dari kalangan Pesantren di Jawa Barat juga memberikan benerapa pendapat dan tanggapan mengenai posisi kaum minoritas (non-muslim) dalam penerapan Syari’at Islam ini diantaranya:

Siti Asadiyah—seorang guru senior pada Pesantren Darussalam Ciamis—misalnya, bependapat bahwa non Muslim tidak perlu khawatir dengan penegakan Syari’at Islam secara formal sebagai undang-undang negara. Karena, mereka pasti akan dilindungi eksistensi dan keberadaannya. “Ya pasti dilindungi. Ini kan sudah ada sejarahnya, sejak zaman Rasul sampai sahabat. Ketika itu Muslim yang nomor satu dan non-Muslim takluk, dan mereka itu memberikan upeti kepada umat Islam” ujarnya. Bila kita lihat pernyataan itu, secara tersurat jelas bahwa umat non-Muslim akan dilindungi, namun dengan syarat mereka memberikan upeti kepada umat Islam. Dari pernyataan itu, secara tidak langsung juga ditegaskan bahwa posisi umat non-Muslim sebagai warga negara kelas dua adalah hal yang sangat mungkin dan wajar dalam penegakan Syari’at Islam.

Mengamini pendapat di atas, Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya menyatakan bahwa justru dengan Syari’at Islam umat non-Muslim akan lebih terlindungi. Hal itu sudah dicontohkan Rasulullah ketika di Madinah. Saat itu, menurutnya, umat non-Muslim lebih terjamin untuk melakukan perdagangan, praktik keagamaan, kegiatan sosial-politik, serta urusan kehidupan lainnya. Ketakutan umat non-Muslim di Indonesia, menurutnya, dikarenakan sikap yang apriori terlebih dahulu tanpa melihat sejarah Nabi. Hal itu ditambah lagi oleh sikap sebagian tokoh umat Islam sendiri yang tidak berusaha memperjuangkan Piagam Jakarta secara sungguh-sungguh. “Kalau melihat pengalaman itu, mereka malah bisa lebih terlindungi, karena ada contoh yang Rasulullah telah laksanakan di Madinah. Lebih terjaminlah. Kalau ada Piagam Jakarta, insya allah Syari’at Islam kini sudah berjalan di seluruh indonesia. Minimal Jawa dan Sumatera. Karena yang bagian timur kan mayoritas waktu itu orang kafir” paparnya tentang masalah ini.

Soal kemungkinan terjadinya pengkelasan kewarganegaraan juga dinyatakan M. Mufti dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Dia berpendapat, kalau dilihat dari sudut pandang teori negara, kemungkinan itu sangat ada. Sebab, ketika suatu negara dibangun berdasarkan hukum agama tertentu, tentu warga negara yang menganut agama yang sama dengan negara yang akan lebih terjamin hak-haknya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, seharusnya aturan itu juga bisa diterapkan ke umat agama lain yang tinggal di negara itu.

Namun, lain halnya dengan pendapat Latif Awaluddin dari pesantren Persis Pajagalan, Bandung. Dia menyatakan bahwa aturan hukum dan kehidupan sehari-hari dalam penerapan Syari’at Islam tidak diwajibkan bagi umat non-Muslim. Meski umat Islam diwajibkan menutup aurat, untuk warga non-Muslim tidak harus, bahkan dia tidak harus shalat. Dan pendapat yang sama juga dikemukan Ustadz Syamsuddin dari Pesantren Darul Muttaqin, Cirebon. Menurutnya, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama, pemaksaan penerapan Syari’at Islam kepada non-Muslim tidak bisa dibenarkan. “Islam ini bukan suatu paksaan, kita tidak bisa memaksakan Islam kepada orang-orang yang memang belum ada petunjuk dari Allah. Artinya kita mau mendakwahi kayak apapun dan memaksakan, malah kita nanti dipermasalahkan. Jadi barang siapa yang sudah mengerti dan memahami marilah kita sama-sama jalan, kalau itu belum ya masing-masing saja” katanya memberikan argumen soal larangan pemaksaan itu. Dengan demikian, meski orang-orang Kristen, Budha, dan agama lainnya itu sebagai orang kafir umat Islam tidak dibenarkan memerangi mereka. Lebih jauh, Ustadz Syamsuddin berkata:

“Hari ini kitab mereka (orang Kristen dan sebagainya) kan bikinan baru. Dan kita memahami Nabi yang terahir kita Nabi Muhammad, berarti Islam itu yang dibawa dan mestinya semua manusia kembalinya pada Islam dan bukan pada agama lainnya. Kita anggap mereka ini tidak menuhankan pada Allah, berarti orang kafir. Tetapi apakah kita harus memerangi mereka? Tidak. Kita ini Islam, damai, tapi diarahkan ke Islam dan tanpa paksaan dan kita tidak sepakat dengan kekerasan. Bahkan, kita ajarkan kepada anak-anak bahwa Islam ini bukan kekerasan tapi kita damai, baik, santun kepada siapa saja kepada semua orang yang tinggal disekitar kita”.

Lain lagi dengan Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Menurutnya, kalau Syari’at Islam sudah ditegakkan dan ditetapkan secara formal sebagai undang-undang daerah seperti di Aceh, maka non-Muslim harus mengikuti aturan itu. Hanya saja, untuk daerah lain perlu diuji coba sejauhmana penerimaan masyarakat terhadap Syari’at Islam secara formal dalam Undang-Undang. Jika di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, maka mau tidak mau masyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi. Namun, untuk konteks keseluruhan negara Indonesia, dikhawatirkan penerapan aturan ke non-Muslim akan menyebabkan perang agama. Lebih tegasnya dia berujar:

“Kalau itu sudah masuk dalam Undang-Undang daerah artinya sudah diberlakukan seperti itu. Kalau daerah lain ya silahkan saja. Pokoknya kalau awalnya diletakkan ini seperti itu akan kokoh. Tapi kalau Undang-Undang resminya sudah berjalan begini bisa perang agama, dunia akan bertindak bahkan akan digencet Indonesia kalau non-muslim dipaksa ikut aturan muslim. Maksudnya di Indonesia dipusat, kalau didaerah awalnya begitu karena mayoritas muslim maka mereka mau tidak mau mereka msyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi”.

Meski demikian, dia menambahkan, jika suatu saat nanti Indonesia berhasil menerapkan Syari’at Islam dalam Undang-Undang dan sudah ditetapkan, maka seluruh warganya—Muslim dan non-Muslim—wajib mengikutinya. Seperti di Malaysia dan Arab Saudi yang sudah memberlakukan hukum Islam, warga non-Muslim mau tidak mau memang mengikutinya. Menurutnya, kesalahan negara Indonesia adalah kenapa dahulu saat kemerdekaan Syari’at Islam tidak diberlakukan dan ditetapkan sebagai aturan negara. Jika pada masa itu berhasil, aturan itu pasti akan diterima tidak hanya oleh warga Muslim saja tapi juga oleh semua warga negara lainnya.

Pendapat serupa dikemukakan Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Menurutnya, kita tidak bisa mengubah keyakinan orang, karena sebagi pengikut Nabi terakhir sudah semestinya mengikuti Nabi yang tidak suka memaksakan kehendak pada orang lain. Dia mencontohkan, meski Abu Thalib tiap hari bergaul dan hidup dengan Nabi Muhammad yang dibimbing dengan wahyu dan dibekali dengan mukjizat, sampai akhir hidupnya ia tetap kafir. Menurutnya, itu adalah fakta sejarah yang harus diterima. Meski demikian, dia percaya bahwa Syari’at Islam sebetulnya bisa ditegakkan sebagai aturan di negeri ini, termasuk untuk warga non-Muslim.

Demikianlah, bila melihat berbagai pendapat di atas, sangat wajar jika banyak non-Muslim khawatir akan posisi mereka jika Syari’at Islam diterapkan. Menurut Saiful Mujani, sejauh aspirasi politik Syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok di masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Namun, jika sudah menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka akan mengikat semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Dan kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang Syari’ah, mulai terancam eksistensinya.[9]

Selain itu dalam penerapan Syari’at Islam kaum minoritas (non-muslim) memiliki hak–hak, yaitu dasar yang pertama–tama dalam perlakuan terhadap kaum minoritas (non-muslim) dalam sebuah dar al-Islam ialah bahwa mereka memiliki hak–hak yang sama dan seimbang sebagaimana yang dimiliki kaum muslimin, kecuali dalam beberapa hal tertentu. Sebaliknya, mereka juga dibebani kewajiban–kewajiban yang sama seperti yang dibebankan atas kaum muslimin kecuali dalam beberapa hal tertentu.

Hak–hak ahl al-dzimmah yang pertama–tama adalah hak menikmati perlindungan negara dan masyarakat Islam. Perlindungan itu meliputi perlindungan terhadap segala macam kezaliman, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Dengan begitu, mereka benar–benar menikmati rasa aman dan tentram.

Mengenai perlindungan terhadap gangguan yang berasal dari luar negeri, kaum dzimmi memiliki hak yang sama seperti yang dimiliki kaum muslimin. Menjadi kewajiban pemerintah Islam untuk mewujudkan perlindungan semacam itu dengan kekuasaan yang dimilikinya. Hal itu berlaku selama mereka masih berdiam dalam dar al-Islam bukannya dalam dar ar-harb.

Mengenai perlindungan dari kezaliman yang berasal dari dalam negeri, ajaran Islam mengingatkan kaum muslimin agar jangan sekali–kali melanggar hak kaum ahl al – dzimmah baik dengan tindakan maupun dengan ucapan.

Dalam sebuah perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum Nasrani Bani Najran, yakni kaum ahl al-dzimmah yang pertama–tama membayar jizyah dalam sejarah Islam, yang antara lain ditetapkan: “tidak diperkenankan menghukum seseorang dari mereka karena kesalahan orang lain.”

Mengenai keharusan memberikan perlindungan kepada kaum ahl al-dzimmah ini terdapat banyak sekali hadist dan atsar (perkataan sahabat) yang memberikan arahan sikap kaum muslimin. Diantaranya sabda Rasulullah SAW: “barang siapa menganiaya seorang dzimmi atau mengurangi hak–haknya atau memberikan beban yang melampauin batas kekuatannya, atau mengambil sesuatu darinya tanpa kerelaan hatinya, akulah yang menjadi penuntutnya pada hari kiamat” (Riwayat Abu daud).[10]

Selain itu diantara hak kaum minoritas (non-muslim) yang dilindungi ialah kebebasan beragama dan beribadah. Sebab didalam Al-quran secara tegas disebutkan bahwa setiap orang berhak memeluk Agama dan kepercayaannya masing–masing. Seorang dzimmi tidak boleh dipaksa untuk berpindah keagama Islam dengan cara apapun juga. Inti ajaran ini terlihat jelas dalam sebuah ayat dalam al-quran: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama Islam sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah (al-baqarah: 256).

Sayyid muhammad Rasyid Ridha, dengan mengutip riwayat Ibnu Jarrir dari Ibnu Abbas RA menyebutkan bahwa ayat diatas diturunkan dalam hubungannya dengan seorang anshar dari bani salim bin ‘auf yang dipanggil dengan nama al-hushain. Lelaki ini mempunyai dua orang putra yang beragama nasrani sedangkan ia sendiri telah memeluk Islam. Lalu ia menghadap Nabi Muhammad SAW dan bertanya: “bolehkah saya memaksa keduanya yang terus dalam agama nasrani dan enggan memeluk islam?”pada saat itulah turun ayat diatas yang melarang seseorang memaksa orang lain, walau anaknya sekalipun, untuk masuk kedalam agama Islam.[11]

Selain hak–hak kaum minoritas (non-muslim) juga memiliki kewajiban–kewajiban yang harus ditaati dan dipatuhi dan satu–satunya perlakuan yang berbeda terhadap kaum ahl al-dzimmi dari pada kaum muslimin pada umumnya, ialah dalam kewajiban mereka membayar jizyah. Namun penelitian lebih mendalam memperlihatkan bahwa kewajiban membayar jizyah ini hanyalah merupakan istilah yang berbeda untuk kewajiban yang setingkat bagi kaum muslimin dengan nama zakat. Bahkan dari segi jumlah, pungutan zakat bagi kaum muslimin selalu lebih besar dari pada pungutan jizyah bagi kaum non-muslim.

Meskipun demikian masalah jizyah dan perlakuan terhadap kaum minoritas (non-muslim) ini oleh beberapa penulis sering diambil sebagai suatu titik untuk menyerang konsep keadilan dan persamaan dalam Islam terhadap rakyatnya. Hal ini misalnya tercermin dalam tulisan Majid Khadduri yang menyatakan bahwa pungutan jizyah terhadap kaum non-muslim merupakan suatu bentuk hukuman dari kaum muslimin terhadap kaum non-muslim.

Memang mengenai jizyah ini telah timbul banyak salah paham, tidak hanya oleh penulis–penulis non-muslim tetapi juga oleh sebagian penulis dari kalangan muslim sendiri. Bahkan ada yang sampai pada kesimpulan bahwa hanya kaum muslimin sajalah yang menikmati status kewarga negaraan penuh, oleh karena adanya jizyah ini.

Salah paham yang banyak terjadi itu pertama–tama mungkin banyak berpangkal dari kekeliruan penapsiran sebagian orang dalam memahami satu–satunya ayat Al-quran yang bebicara tentang jizyah, yakni surat at-taubah: 29:
Perangilah orang–orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah) , (yaitu orang – orang ) yang diberikan al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

Akhir ayat diatas (wa hum shaghirun) sering diartikan secara keliru oleh sebagian orang dengan menganggapnya sebagai dasar pembolehan untuk memperlakukan kaum non-muslim yang membayar jizyah secara merendahkan dan menghina. Penafsiran semacam ini misalnya dilakukan oleh al-raghib al-ashfani , yang mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan frasa yang tersebut diatas ialah kaum pembayar jizyah itu rela menempati kedudukan yang hina (al-radhi ‘ala al-manzilah al-daniyyah).

Dalam komentarnya, sayyid muhammad rasyid ridha juga menyatakan memang ada sebagian mufassir yang mengartikan bagian ayat ini dengan pengertian yang jauh dari keadilan dan rahmat ajaran Islam. Pengertian yang sebenarnya disini seperti dikemukakan rasyid ridha, ialah bahwa kaum non-muslim yang membayar jizyah itu tunduk kepada ketentuan hukum dan pemerintahan Islam, dalam hal warga non-muslim itu berkedudukan sebagai minoritas.

Jadi, dengan singkat dapat dikatakan bahwa pemberian jizyah itu dilakukan dibawah sistem hukum dan pemerintahan Islam, suatu hal yang wajar saja oleh karena jizyah itu sendiri berasal dari tatanan hukum Islam , tegasnya ayat di atas dimaksudkan untuk mengacu kepada sistem, bukan menunjukan pada cara bagaimana jizyah itu dipungut dari kaum non-muslim.[12]

Sementara itu dalam pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi NAD sendiri, sampai saat ini belum ada peraturan–peraturan daerah atau Qanun–qanun di bidang Syariat Islam yang dibuat secara terperinci untuk mengatur tentang posisi, hak dan kewajiban kaum minoritas (non-muslim) di propinsi NAD.

Sejak pemberlakuan Syariat Islam di NAD hingga saat ini Syariat Islam hanya diberlakukan terhadap kaum muslimin saja, setiap pelanggaran Syariat Islam yang terjadi dan dilakukan oleh kaum muslimin oleh pihak penyidik kepolisian berkas perkara dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri untuk diproses dan kemudian dilanjutkan kepada Mahkamah Syariah untuk diadili dan dijatuhi hukuman.

Sedangkan bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim oleh pihak penyidik Kepolisian berkas perkara diserahkan kepada kejaksaan Negeri untuk diproses dan kemudian dilanjutkan kepada Pengadilan Negeri untuk diadili dan dijatuhkan hukuman.

Bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama Islam dipergunakan Qanun di bidang Syariat Islam yang berlaku di Propinsi NAD, sedangkan bagi pelaku pelanggaran yang beragama non-muslim masih tetap mempergunakan Kitab Undang – undang Hukum Pidana Nasional Indonesia, dan bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim tidak diberlakukan sanksi pidana cambuk akan tetapi masih mempergunakan sanksi pidana penjara, kurungan atau denda yang berlaku didalam KUHP Indonesia.

Seperti halnya yang terjadi pada beberapa kasus Maisir (perjudian) dan Khalwat (mesum) yang terjadi di kota Madya Banda Aceh, yang mana bebarapa diantara pelakunya beragama non-muslim, bagi pelaku pelanggaran yang beragama Islam diberlakukan Qanun No. 13 tahun 2003 tentang perbuatan pidana di bidang Maisir (perjudian), sedangkan bagi pelaku pelanggaran yang beragama non-muslim diberlakukan Kitab Undang – undang Hukum Pidana.

Akan tetapi seiring perkembangannya saat ini, dalam pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi NAD, bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim menurut keterangan dari Humas Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh Wirzaini Usman, S.H dikenal adanya penundukan sukarela, bagi pelaku pelanggaran Syariat Islam yang beragama non-muslim diberikan hak untuk memilih hukum mana yang akan diberlakukan atas dirinya, apakah Qanun Syariat Islam Provinsi NAD, atau Kitab Undang–undang Hukum Pidana, apakah sanksi pidana cambuk atau sanksi pidana kurungan yang akan di kenakan terhadap dirinya.

Seperti tertulis dengan jelas dalam Undang–undang nomor 18 Tahun 2001, Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam hanya berlaku kepada orang yang beragama Islam. Dengan demikian, orang yang tidak beragama Islam tidak akan dipaksa untuk mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada Syariat Islam tersebut. Sebelum kehadiran Undang–Undang nomor 44 Tahun 1999,di Aceh disahkan Perda nomor 5 Tahun 2000, yang dalam pasal 2 ayat (2)-nya menyatakan bahwa agama selain Islam diakui keberadaannya di Aceh, begitu juga para pemeluknya dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk beribadat melaksanakan ajaran dan kewajiban agamanya.
Sebelumnya Selanjutnya
[1] Al-Quran Surat An-nisa ayat 58.
[2] Al-Quran Surat Al-maidah ayat 8.
[3] Al-Quran Surat An-nur ayat 2.
[4] Al-Quran Surat An-Nur ayat 4.
[5] Al Yasa’ Abubakar, syariat Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh, Dinas Syari’at Islam NAD, 2006) Halaman 41 s.d 44.
[6] Al Yasa’abubakar, Sekilas Syariat Islam Di Aceh, (Banda Aceh, Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2006) , Op.cit Halaman 25 s.d 28.
[7] Ahmad Fuad Fanani, makalah Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam: Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Halaman 9 s.d 10.
[8] Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi ,Op.cit, halaman 58 s.d 60
[9] Ahmad Fuad Fanani, Makalah Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam: Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat. Halaman 10 s.d 13.
[10] Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh problem, solusi dan implementasi , Op.cit, halaman 60 s.d 61
[11] Ibid, halaman 63.
[12] Ibid halaman 67 s.d 68.

0 komentar:

Posting Komentar