Seri Materi Tauhid – 3
Makna La Ilaha Illallah
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya seluruhnya. Wa ba’du:
Apa yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah sebagaimana apa yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah yaitu menafikan atau meniadakan empat hal, maksudnya orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dikatakan memegang Laa ilaaha illallaah dan dikatakan muslim-mukmin adalah apabila dia meninggalkan atau menjauhi, atau berlepas diri dari empat hal, yaitu:
1. Alihah (Sembahan-sembahan)
2. Arbab (tuhan-tuhan pengatur)
3. Andad (tandingan-tandingan)
4. Thaghut
Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, meninggalkan empat hal tadi dan kita akan membahas satu demi satu dari keempat hal tersebut.
1. Alihah
Alihah adalah jamak daripada ilah, yang artinya tuhan. Jadi Laa ilaaha illallaah ketika kita mengucapkannya: tidak ada ilah, tidak ada tuhan yang diibadati kecuali Allah, berarti menuntut dari kita untuk meninggalkan ilah-ilah selain Allah (tuhan-tuhan selain Allah) dan yang penting bagi kita di sini adalah memahami apa makna ilah. Karena kalau kita melihat realita orang yang melakukan kemusyrikan pada zaman sekarang, mereka tidak menamakan apa yang mereka ibadati selain Allah itu sebagai ilah (sebagai tuhan) akan tetapi dengan nama-nama yang lain. Kalau kita memahami makna ilah, maka kita akan mengetahui bahwa apa yang dilakukan oleh si fulan atau masyarakat fulani itu adalah mempertuhankan selain Allah.
Ilah, definisinya adalah: Apa yang engkau tuju dengan sesuatu hal dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana).
Kalimat “dengan sesuatu hal” adalah suatu tindakan atau suatu perbuatan.
Contoh 1:
Batu besar (ini adalah sesuatu), lalu orang datang menuju ke batu besar tersebut dengan sesajen, bisa berbentuk cerutu, kopi pahit, “rurujakan” (sebutan salah satu bentuk sesajian dalam masyarakat suku Sunda, ed.), bekakak ayam atau apa saja. Batu ini adalah sesuatu yang dituju oleh orang tersebut dengan suatu hal tadi (sesajian, cerutu, dll) dan pemberian sesajen ini pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin seseorang menyimpan sesajen-sesajen pada batu besar tersebut dengan tujuan agar dimakan semut, tidak… tentu bukan itu maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah sebagai bentuk mencari manfaat atau tolak bala. Misalnya minta dijauhkan dari bala (bencana), karena menurut keyakinannya bahwa pada batu besar itu ada yang penunggunya.
Ketika orang tadi melakukan ‘tindakan’ pemberian sesajen pada batu besar itu dengan persembahan-persembahan tadi dalam rangka tolak bala atau minta manfaat, berarti batu besar ini adalah ilah yang dipertuhankan selain Allah, sehingga pengucapan Laa ilaaha illallaah-nya adalah tidak benar… bohong!, dengan kata lain orang tersebut belum muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji, dan lainnya.
Contoh 2:
Pohon besar, dituju oleh seseorang atau masyarakat dengan sesuatu hal tadi (sesajen-sesajen). Pasti ada maksudnya, kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat.
Berarti pohon besar itu dipertuhankan selain Allah dengan kata lain bahwa orang yang melakukannya itu telah melanggar Laa ilaaha illallaah atau bermakna dia belum muslim, karena seharusnya dia meninggalkan hal itu.
Contoh 3:
Nyi Roro Kidul… biasanya orang pantai selatan, mereka datang ke pantai ‘menuju’ Nyi Roro Kidul dengan suatu hal seperti “Pesta Laut”, dengan cara melemparkan makanan-makanan ke laut sebagai persembahan kepada Nyi Roro Kidul, kata mereka ada maksudnya… Apakah itu? Yaitu tolak bala atau cari manfaat, di antaranya mereka ingin mendapat keselamatan jika sedang melaut, tidak diterpa badai atau kecelakaan lainnya, sekaligus diberi tangkapan ikan yang melimpah.
Maka dalam kasus ini berarti Nyi Roro Kidul itu adalah ilah, yang telah dipertuhankan selain Allah. Mereka yang melakukan pesta laut itu adalah orang-orang musyrik! bukan orang-orang muslim.
Contoh 4:
Sebagian masyarakat ada yang berkeyakinan bahwa Dewi Sri itu adalah Dewi Padi. Petani datang ke sawah dengan membawa kelapa muda atau rurujakan atau terkadang Nasi Tumpeng, lalu disimpan di pematang sawah. Buat siapa…? Kata mereka buat Dewi Sri.
Dewi Sri adalah sesuatu yang dituju oleh petani tersebut dengan suatu hal tadi (sesajen). Apa maksudnya…? Kalau bukan tolak bala berarti meminta manfaat agar panennya berhasil atau supaya tidak ada hama, dst. Berarti Dewi Sri ini telah dipertuhankan selain Allah, dan berarti orang-orang tersebut telah melanggar Laa ilaaha illallaah, dengan kata lain belum muslim.
Contoh 5:
Orang mau membuat rumah, di mana kata masyarakat bahwa di daerah yang akan dibangun rumah itu terdapat jin penunggunya. Ketika membuat rumah, maka orang tersebut menuju sesuatu itu (jin) dengan sesuatu hal berupa tumbal (seperti: memotong ayam lalu dikubur sebelum dibuat pondasi rumah) agar tidak diganggu oleh jin tersebut.
Berarti jin ini adalah sesuatu yang dituju oleh pemilik rumah dengan sesuatu (yaitu tumbal) dalam rangka tolak bala. Berarti jin ini telah dipertuhankan, dan orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah orang musyrik…! Bukan muslim, meskipun dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya.
Contoh 6:
Kuburan, baik itu kuburan Nabi atau kuburan wali atau kuburan siapa saja. Orang menamakan kuburan tersebut adalah kuburan keramat sehingga orang datang ke kuburan tersebut.
Kuburan adalah sesuatu, kemudian dituju oleh orang tersebut dengan sesuatu. Ada yang minta jodoh kepada penghuni kubur tersebut, bahkan ada yang minta do’anya (sedangkan meminta do’a kepada yang sudah meninggal adalah tidak dibolehkan), berarti kuburan ini adalah sesatu yang dituju oleh orang tadi dalam rangka meminta manfaat, minta jodoh, minta rizqi, atau minta do’a, ada juga yang minta agar dijauhkan dari bala. Berarti kuburan tersebut telah dipertuhankan, telah dijadikan sekutu Allah, dan para pelakunya adalah orang-orang musyrik…
Mereka beralasan bahwa kami ini adalah orang kotor, sedangkan wali ini adalah orang suci, bersih, dan dekat dengan Allah, sedangkan Allah itu Maha Suci, jika orang kotor seperti kami ini minta langsung kepada Allah maka kami malu, sebagaimana kalau minta suatu kebutuhan pada penguasa kita tidak langsung datang kepada penguasa tersebut, akan tetapi melalui orang dekatnya… jadi dia menyamakan Allah dengan makhluk. Perbuatan tersebut adalah penyekutuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berarti orangnya adalah orang musyrik dan orang tersebut telah mempertuhankan selain Allah, walaupun dia tidak mengatakan bahwa dirinya telah mempertuhankan selain Allah.
Walaupun batu besar, pohon besar, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka orang-orang yang melakukan hal itu adalah bukan orang-orang muslim. Dan kalau kita hubungkan dengan realita, ternyata yang melakukan hal itu umumnya adalah orang yang mengaku muslim. Mereka itu sebenarnya bukan muslim tapi masih musyrik.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan tentang orang-orang kafir Arab, karena di antara kebiasaan mereka adalah menjadikan Latta sebagai perantara, mereka memohon kepada Latta ~yang dahulunya orang shalih~ untuk menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Ketika mereka diajak untuk mengatakan dan komitmen dengan Laa ilaaha illallaah maka mereka menolaknya, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As Shaaffaat [37]: 35-36)
Dalam ayat ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam digelari “penyair gila”, padahal sebelumnya mereka menyebutnya “Al Amin” (yaitu orang jujur lagi terpercaya), mereka memahami bahwa apabila komitmen dengan Laa ilaaha illallaah konsekuensinya adalah meninggalkan ilah-ilah tadi (batu-batu keramat, pohon-pohon keramat, kuburan keramat, dst), sedangkan mereka itu tidak mau meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Juga ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada mereka… beliau mengatakan: “Maukah kalian berikan kepada saya satu kalimat yang dengannya kalian akan mampu mendudukan orang-orang Arab dan ‘Ajam?”, Abu Jahl mengatakan: “Senang sekali, saya akan memberikannya… bahkan 10x lipat dari kalimat yang kamu minta itu”, kemudian Rasulullah mengatakan: “Katakan; Laa ilaaha illallaah”. Lalu mereka bangkit dan pergi sambil mengatakan: “Apakah kami harus menjadikan ilah-ilah itu hanya menjadi satu saja?, ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan!!” [sebagiannya diriwayatkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim]
Mereka (kaum musyrik Quraisy) adalah orang Arab asli, mereka sangat paham kandungan Laa ilaaha illallaah, dan mereka tak perlu diajari artinya, tidak seperti kita. Mereka paham bahwa di antara maknanya adalah sesungguhnya mereka harus meninggalkan alihah selain Allah, sehingga karena hal itulah mereka menolak. Jadi, mereka enggan meninggalkannya, berbeda dengan orang sekarang ; mengucapkan mau… bahkan ratusan kali, ribuan kali akan tetapi perbuatannya bertentangan dengan kandungan Laa ilaaha illallaah.
Ini adalah yang pertama, alihah: sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat. Mudah-mudahan yang pertama ini jelas…
2. Arbab
Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk meninggalkan arbab, berlepas diri dari arbab. Apakah arbab…?? Ia adalah bentuk jamak dari Rabb, yang artinya tuhan pengatur atau yang mengatur, berarti kalau kata-kata “atur” maka berhubungan dengan aturan, seperti hukum/undang-undang. Jadi Rabb adalah tuhan yang mengatur, yang menentukan hukum.
Kita sebagai makhluq Allah, Dia telah memberikan sarana kehidupan kepada kita, maka konsekuensi sebagai makhluk yang diciptakan Allah adalah beriman bahwa yang berhak menentukan aturan… hanyalah Allah. Jadi Allah disebut Rabbul ‘aalamiin karena Allah yang mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai rabb.
Apakah rabb itu…? Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.
Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah, maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah [9]: 31)
Pada ayat ini Allah memvonis orang Nashara dengan lima vonis:
1. Orang-orang Nashara tersebut telah mempertuhankan para alim ulama dan pendeta mereka
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka musyrik
5. Alim ulama dan pendeta mereka telah memposisikan dirinya sebagai arbab… sebagai Tuhan
Ketika ayat ini dibacakan di hadapan shahabat ‘Adiy Ibnu Hatim (asalnya beliau ini Nashrani), sedang beliau datang kepada Rasul dalam keadaan masih Nashrani. Ketika mendengar ayat ini dengan vonis-vonis di atas, maka ‘Adiy Ibnu Hatim mengatakan: “Kami (maksudnya: dia dan orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat, sujud kepada alim ulama kami, atau kepada pendeta kami, lalu kenapa Allah memvonis kami musyrik, kami melanggar Laa ilaaha illallaah…” dst. Jadi yang ada dalam benak ‘Adiy Ibnu Hatim bahwa yang namanya kemusyikan itu adalah shalat, sujud atau memohon kepada selain Allah. Sehingga mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lakukan selama ini adalah kemusyrikan, mereka heran… sebenarnya apa kemusyrikan yang dilakukan dan bagaimana bentuknya sehingga kami disebut telah mentuhankan alim ulama? Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bukankah alim ulama dan pendeta kalian itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan lalu kalian ikut-ikutan menghalalkannya? bukankan mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan kemudian kalian juga mengharamkannya?”, lalu ‘Adiy berkata: “Ya!”, maka Rasul berkata: “Itulah bentuk peribadatan (orang Nashrani) terhadap mereka”.
Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum (sekarang: undang-undang), maka dia mengklaim bahwa dirinya sebagai tuhan… sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik…!
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Ayat ini berkenaan dengan masalah bangkai, dan kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram. Dalam ajaran orang-orang kafir Quraisy bangkai adalah sembelihan Allah, dan dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Al Hakim dengan sanad yang shahih: “Orang-orang Quraisy datang kepada Rasul: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, beliau berkata: “Allah yang mematikannya”, lalu mereka berkata: “Kambing yang kalian sembelih kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang mulia dengan pisau dari emas (maksudnya bangkai), kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ucapan ini adalah bisikan atau wahyu syaitan kepada mereka dan ketahuilah: “Jika kalian mentaati mereka (ikut setuju dengan hukum dan aturan mereka yang bertentangan dengan hukum dan aturan Allah), maka kalian ini orang-orang musyrik”.
Dalam hal ini ketika orang mengikuti hukum yang bertentangan dengan aturan hukum Allah disebut musyrik, padahal hanya dalam satu hal saja, yaitu penghalalan bangkai. Sedangkan orang yang membuat hukumnya disebut syaitan, dan hukum tersebut pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau bisikan syaitan, kemudian digulirkan oleh wali-wali syaitan dari kalangan manusia, dan orang yang mengikuti hukum-hukum tersebut disebut sebagai orang musyrik…!
Agar lebih kuat lagi, mari kita lihat firman Allah:
“…Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah.
Dalam ayat ini penyandaran hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain Allah, itulah dien yang lurus… ajaran yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.
Jadi Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menetapkan hukum, aturan, undang-undang hanya di Tangan Allah, ketika dipalingkan kepada selain Allah maka itu artinya memalingkan ibadah kepada selain Allah, dengan kata lain adalah syirik dan orangnya disebut musyrik.
Maka dari itu tidaklah aneh, ketika hal itu dipalingkan kepada alim ulama dan pendeta disebut musyrik, ibadah kepada selain Allah, mempertuhankan alim ulama. Jadi, dalam satu hal saja orang yang mengikutinya itu disebut musyrik.
“…dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Sekarang… kita hubungkan dengan realita: Bukankah kita mengenal sistem demokrasi?! Orang yang ‘berpendidikan’ pasti mengetahui apa makna demokrasi, yaitu pemegang kekuasaan adalah rakyat atau sering pula disebut: dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi, dalam demokrasi pihak yang berdaulat, yang berhak menentukan hukum itu adalah rakyat. Apa yang diinginkan rakyat atau mayoritasnya itu adalah kebenaran yang wajib diikuti.
Sistem demokrasi mulai populer ketika Revolusi Prancis, (walau ide-ide dasarnya sudah muncul jauh sebelum itu, ed). Hal ini terjadi agar terlepas dari kungkungan gereja yang mengekang mereka karena kekuasaan kaisar-kaisar pada saat itu, dengan kezhaliman, kediktatoran, dan sikap otoriter yang mereka lakukan di atas nama tafwidl ilahiy (atas nama kewenangan Tuhan) maka terjadilah revolusi yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan Tuhan yang diberikan kepada rakyat yang mana demokrasi ini dibangun di atas beberapa pilar:
1. Kebebasan keyakinan, dengan nama lain kebebasan meyakini apa saja.
2. Kebebasan mengeluarkan pendapat
3. Hukum berada di tangan rakyat
4. Melepaskan norma akhlaq dari agama
Dalam masalah ini kita secara khusus mengambil masalah “hukum berada di tangan rakyat”, di mana yang berhak memutuskan hukum aturan/undang-undang dalam sistem itu adalah rakyat, yang mana dalam sistem demokrasi perwakilan diwakilkan melalui pemilu (intikhab).
Mari kita perhatikan bahwa dalam praktek demokrasi, yang berhak memutuskan hukum itu adalah rakyat, setiap individiu-individu rakyat memiliki kewenangan mambuat hukum, dengan kata lain bahwa rakyat itu memiliki sifat ketuhanan yaitu pembuat hukum, akan tetapi kalau rakyat yang berjumlahnya berjuta-juta ini berkumpul semuanya adalah tidak mungkin, maka diwakilkan hak ketuhanannya itu lewat pemilu dan ketika “nyoblos” itu pada dasarnya mewakilkan hak ketuhanannya kepada wakilnya yang nantinya akan dipajang di gedung Parlemen. Sehingga nantinya akan membuat hukum atas nama rakyat. Hal ini bisa dilihat pada saat sidang-sidang thaghut itu di mana mereka mengatasnamakan rakyat, karena mereka adalah perwakilan rakyat…penyalur aspirasi rakyat. Jadi, dalam sistem demokrasi ini yang berwenang atau menentukan hukum dan undang-undang adalah rakyat.
Jika dalam surat Al An’am 121 di saat satu hukum saja dipalingkan kepada selain Allah dihukumi syirik dan yang membuatnya di sebut wali syaithan (arbab). Maka apa gerangan dengan sistem demokrasi ini, yang mana bukan hanya satu hukum, akan tetapi seluruh hukum dipalingkan dari Allah kepada makhluk (rakyat)…?? Maka dari itu dalam Undang Undang Dasar dalam Bab 1 (1) ayat 2 dikatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat”. Jika dahulu sebelum diamandemen dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka sekarang adalah dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Jadi, kedaulatan atau hak hukum itu berada di tangan rakyat, atau dengan kata lain bahwa demokrasi itu merampas sifat ketuhanan dari Allah dan diberikan kepada rakyat yang nantinya akan terwujud dalam wakil-wakil rakyat yang ada di gedung Parlemen (MPR/DPR atau yang lainnya).
Jika sekarang kita ingin mengetahui siapa arbab-arbab… para pengaku tuhan di NKRI (Negara Kafir Republik Indonesia) ini, maka tinggal membaca kitab Undang Undang Dasar 1945 dan di dalamnya akan didapatkan: Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) atau akan didapatkan juga pasal: Bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang… dst. Juga yang berkaitan dengan otonomi daerah: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintahan setempat diberikan kewenangan membuat Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah”. Itu semua adalah arbab-arbab yang ada di Indonesia… Sekali lagi, jika ingin mengetahui siapa arbab atau para pengaku tuhan maka pahamilah Tauhid lalu baca Undang Undang Dasar 1945, maka akan diketahui bahwa mereka adalah para pengaku tuhan.
Jadi demokrasi ini adalah sistem syirik sedangkan hukum yang muncul dari bingkai demokrasi dalam bentuk apapun itu adalah syari’at demokrasi… syari’at syirik walaupun ~umpamanya~ sanksi “potong tangan” bagi pencuri muncul dalam bingkai demokrasi, maka hakikatnya adalah bukan hukum Allah akan tetapi hukum demokrasi, karena munculnya bukan dari Allah, tapi dari sang pembuat hukum yang diakui dalam sistem demokrasi, yaitu rakyat (wakil rakyat) sehingga bukan ayat Al Qur’an lagi yang tertera, akan tetapi: Tap MPR no sekian… atau perpu no sekian… seperti itulah yang ada.
Ketika membuatnya: Mereka (partai-partai “Islam”) mengambil dari Al Qur’an hukum tentang potong tangan, dengan kata lain proposal diambil dari Al Qur’an (dari Allah) kemudian disodorkan kepada ‘tuhan-tuhan’ yang ada di gedung MPR/DPR… disodorkan kepada arbab-arbab itu, setelah itu akan terjadi tarik ulur, jadi hukum Allah disodorkan kepada mereka, karena yang namanya proposal itu muncul berawal dari ‘bawah’ lalu disodorkan ke ‘atas’, dan ketika berada di atas (MPR/DPR) dibahas agar sampai pada kata setuju atau tidak. Jika tidak setuju, maka jelaslah kekafirannya, dan ketika setuju juga jelas kekafirannya, karena hal itu menunjukan bahwa Allah itu tidak diakui sebagai Rabb pengatur, akan tetapi merekalah yang berhak mengatur sehingga hukum Allah membutuhkan persetujuan arbab…!!! dan ketika digulirkan tidak mungkin nantinya sesuai dengan firman Allah surat ini atau ayat sekian… akan tetapi jika yang mengeluarkannya Pemerintah, maka yang keluar adalah perpu no sekian, perda no sekian, jika MPR yang menggulirkannya maka yang yang keluar adalah TAP MPR No sekian, begitulah keadaannya…!!
Jadi semua itu adalah hukum arbab. Arbabnya banyak… ada arbab dari PKS, PBB, PPP, PKB, PAN, PDI, Golkar…dst, mereka itu adalah arbab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf [12]: 39-40)
Ayat “Tuhan-tuhan yang bermacam itu…” maksudnya adalah tuhan-tuhan pengatur atau pembuat hukum yang beraneka ragam, yang banyak dari berbagai golongan, fraksi, utusan daerah, komisi-komisi, dll… dan ayat “yang kalian ibadati” maksudnya adalah mengikuti hukum. “nama-nama yang kalian ciptakan” maksudnya adalah seperti apa yang diibadati oleh para anshar thaghut zaman sekarang berupa Undang Undang Dasar, mereka menciptakannya dan mereka mengibadatinya. Perpu-perpu juga mereka yang membuatnya. KUHP juga mereka yang membuatnya… semua itu adalah nama-nama yang mereka ciptakan sendiri, kitab hukum yang lainnya mereka pula yang membuatnya sendiri lalu mereka juga yang mengibadatinya (mengikutinya).
Jadi, membuat hukum itu adalah sebagai bentuk membuat tuhan yang akan mereka ibadati. Arbab-arbab itu adalah pengaku tuhan.
Supaya lebih dipahami, saya gambarkan… mungkin kita sering mendengar orang memperolok-olokkan Arab Quraisy ketika membuat tuhan dari roti yang terbuat dari adonan yang kemudian diibadati, dan ketika lapar maka tuhan-tuhan itu dimakan, mereka yang memperolok-olok itu mengatakan “Oh… bodoh sekali orang-orang Arab itu, Jahiliyyah banget gitu lo!!”, padahal semua itu justeru adalah realita yang nyata zaman sekarang. Jika kita sudah paham bahwa arbab (mereka para pengaku tuhan) adalah tuhan jadi-jadian dan hukum yang diibadati itu juga tuhan (tuhan yang diibadati bukan dengan shalat atau do’a, tapi dengan taat, patuh, dan loyalitas), maka kita akan mendengar bahasa mereka “menggodok undang-undang”, seperti fraksi anu… menggodok undang-undang buruh (umpamanya) fraksi lain tentang perbankan, fraksi yang lain tentang pendidikan, fraksi yang lain tentang keamanan…! Mereka menggodok seperti membuat adonan, tapi mereka menggodok undang-undang dan hukum, bukan adonan roti. Fraksi ini membuat bagian tangannya, fraksi itu membuat kepalanya, yang lain membuat kakinya atau bagian yang lainnya sehingga setelah semuanya digodok dan dicetak sampai menjadi sebuah berhala (seperti berhala dari roti). Ketika hukum dan undang-undang selesai digodok, kemudian digulirkan (menjadi sebuah berhala), maka akan dibuatkan TAP MPR No sekian… atau Perpu No sekian… lalu disosialisasikan ke tengah masyarakat atau kepada aparatur thaghut ini dan kemudian rame-rame diibadati, bukan dengan disembah-sembah seperti shalat atau sujud, akan tetapi dengan ditaati, dirujuk, dijadikan acuan hukum. Kita juga melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh para aparat thaghut, jelas bukan: “Sesuai dengan firman Allah surat anu ayat sekian atau sabda Rasulullah…”, akan tetapi mereka mengatakan: “Sesuai TAP MPR No sekian, atau pasal sekian…!”. Setelah disosialisasikan dan diibadati ramai-ramai oleh para aparat, polisi, jaksa, hakim, dan yang lainnya, kemudian ketika ada celah atau hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka yang membuatnya dengan bahasa mereka “direvisi atau diamandemen” seperti layaknya tuhan yang terbuat dari roti. Setelah itu kemudian dibuatkan lagi yang baru… digodok lagi… dicetak lagi… sehingga menjadi sebuah berhala baru lagi (hukum dan undang-undang baru), kemudian disembah lagi, dan ketika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan atau ada celah untuk merubah (misalnya karena ada kepentingan politik partai, ed.), maka berhala yang sudah jadi itu dipotong-potong dan dimakan lagi oleh mereka, begitu dan begitu seterusnya…!!!
Jadi, berhalaisme atau paganisme itu selalu terjadi bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya, karena apabila menyembah berhala yang berbentuk patung tidak akan ada yang memaksa, akan tetapi kalau untuk mentaati hukum thaghut, maka akan dipaksa dan diberi sanksi jika menolak.
Pada gambaran yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman, sebagai aturan bagi orang yang beriman, hal demikian itu adalah sebagi tali Allah yang diulurkan dari sisi-Nya (dari surga) ke bumi. Barangsiapa yang memegangnya maka ia akan sampai kepada Allah, sedangkan kitab-kitab selain Al Qur’an (seperti: KUHP atau kitab hukum dan perundang-undangan lainnya) adalah pada hakikatnya kitab syaitan yang merupakan tali syaitan yang di ulurkan dari neraka, barangsiapa yang memegangnya atau yang mengikutinya, maka akan ditarik oleh syaitan ke dasar neraka.
Jadi, “kitab-kitab suci” selain Al Qur’an pada dasarnya adalah wahyu syaitan atau ucapan syaitan yang dihasilkan oleh para arbab (para pengaku tuhan itu).
Fir’aun mengatakan “Aku adalah tuhan kalian yang tertinggi”, apakah ketika dia mengucapkannya dia mengklaim pencipta langit dan bumi? atau bahwa dialah yang menyediakan isi dan segala apa yang ada di atasnya?? Tidak…! dia tidak memaksudkan hal itu, karena masyarakat mengetahui bahwa sebelum Fir’aun telah ada manusia, bahkan masyarakatnya pun mengetahui bahwa Fir’aun sendiri terlahir dari manusia. Akan tetapi ketika dia mengucapkan “Aku adalah tuhan kalian tertinggi” maksudnya adalah tuhan yang hukumnya harus kalian taati… yang mana tidak ada hukum yang harus kalian ikuti kecuali hukum buatan saya!
Jadi ketika Fir’aun mengatakan hal itu, bukanlah karena dia yang menciptakan manusia atau yang bisa memberikan manfaat atau madharat atau yang bisa memberi anak, tetapi “Sayalah pembuat hukum yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.
Apabila telah paham apa yang diucapkan Fir’aun itu, berarti kita bisa melihat banyak Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang yang mengatakan bahwa hukumnya harus ditaati! mereka adalah Fara’inah.
Jadi jika kita membaca tentang Fir’aun itu, jangan selalu mengidentikan pada Fir’aun zaman Nabi Musa saja, karena sifat-sifat Fir’aun itu banyak dan Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang justeru mereka itu lebih dahsyat lagi. Apabila Fir’aun zaman dulu membunuh anak laki-laki karena takut suatu hari ada yang menyaingi atau membunuh dia (sesuai dengan mimpinya itu), sedangkan jika anak-anak kecil ~yang masih suci fithrahnya~ dibunuh, maka insya Allah masuk surga, sedangkan Fir’aun zaman sekarang… mereka membunuh fithrah anak-anak kecil dengan didoktrinkan ideologi-ideologi kafir di sekolah-sekolah milik Fir’aun sehingga fithrahnya mati, bukan jasadnya yang dimatikan, akan tetapi fithrahnya yang dimatikan, sedangkan apabila di waktu kecil fithrah sudah rusak atau mati sampai dia dewasa lalu tidak bertaubat (tidak kembali kepada tauhid) dan dia mati dalam keadaan seperti itu, maka dia akan dijerumuskan ke dalam api neraka… dan ini adalah bahaya!! Sedangkan apabila anak kecil yang mati jasadnya saja, sedang fithrahnya tidak, maka dia masuk surga. Akan tetapi apabila mereka (Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang) itu tidak mampu membunuh fithrahnya sewaktu masa anak-anak, maka setelah dewasa barulah dibunuh jasadnya atau dimasukkan ke penjara-penjara Fir’aun-Fir’aun zaman sekarang.
Jadi…itulah Fir’aun yang mana dia mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi yang dia maksudkan: “Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang hukumya harus kalian ikuti…!”
Bila semua ini kita pahami, maka kita akan melihat bahwa pada zaman sekarang banyak sekali yang seperti Fir’aun.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syari’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]
Jadi, kesimpulannya bahwa arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan:
“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mukminun [23]: 47)
Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para arbab, maka disebut orang yang beribadah kepada arbab tersebut
Ini adalah penjelasan tentang arbab yang mana ini adalah bagian ke dua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah.
3. Andad (Tandingan-tandingan)
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang andad ini:
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Andad itu apa…?
Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam, atau sesuatu yang memalingkan kamu dari Tauhid, baik itu anak, isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang dari Tauhid atau memalingkan seseorang dari Al Islam atau menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah menjadi andad.
Jadi sesuatu yang memalingkan kamu dari Al Islam atau Tauhid baik itu anak, isteri, suami, posisi jabatan, harta benda, dst, kalau hal tersebut justeru mamalingkan seseorang dari tauhid, berarti sesuatu itu telah dijadikan andad… tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Contoh:
Kita bisa melihat dalam realita yang ada di dalam kehidupan masyarakat… mereka berbondong-bondong menjadi abdi hukum buatan. Kita mengetahui bahwa dalam sistem yang dipakai Pemerintahan ini adalah sistem kafir, sistem syirik, yaitu sistem demokrasi. Perundang-undangannya juga adalah perundang-undangan thaghut. Undang-Undang Dasar atau undang-undang lainnya yang dibuat oleh manusia adalah kafir. Orang-orangnya…baik itu pejabat Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, atau dari kalangan bala tentaranya seperti aparat POLRI, TNI, atau para pejabatnya atau bahkan pegawai kecilnya sekalipun (PNS) mereka tidak bisa memegang posisinya, kecuali mereka menyatakan ikrar atau janji setia, kepada apa…?? Kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar dan kepada sistem thaghut ini, sedangkan kesetiaan terhadap thaghut merupakan kekafiran!
Kita mengetahui bahwa yang mereka inginkan bukanlah menjadi kafir atau murtad, ~umpamanya~ orang mendaftarkan diri menjadi Polisi atau jadi Caleg (Calon Legislatif) yang mana dia tidak bisa meraihnya kecuali kalau mereka setia kepada sistem thaghut tersebut, sedangkan menyatakan ikrar atau janji setia kepada sistem kafir merupakan kekafiran. Kita memahami bahwa yang diinginkan oleh orang tersebut bukanlah ingin kafir atau ingin murtad dan bukan sebagai kebencian kepada Islam… akan tetapi dia menginginkan posisi, jabatan, gaji bulanan, dst. Nah… keinginan-keinginan tersebut yang menyebabkan orang tersebut meninggalkan Tauhid, dengan demikian keinginan tersebut atau posisi jabatan atau gaji bulanan yang diinginkan tersebut telah menjadi andad. Orang tersebut telah meninggalkan Tauhidnya karena ia menjadikan hal-hal tersebut sebagai andad.
Ketika seseorang mau menjadi pegawai di dinas thaghut, maka dia harus bersumpah setia kepada sistem thaghut ini terlebih dahulu. Mungkin ketika seseorang telah mengenal Tauhid dia pasti benci dengan sistem ini, atau benci dengan undang-undang ini, benci dengan falsafah yang syirik ini. Akan tetapi yang diinginkan bukan itu (bukan ingin kafir atau menjadi suka pada sistemnya, ed), melainkan gaji bulanan atau fasilitas-fasilitas. Dan dikarenakan harus setia kepada kekafiran ~sedang hal demikian itu adalah kekafiran~ maka perbuatan tersebut telah menjadikan orang tersebut terjerumus ke dalam kekafiran, orang tersebut telah menjadikan keinginan-keinginannya sebagai andad yang memalingkannya dari Tauhid…!
Jadi andad adalah sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid… dari Islam, baik itu berupa jabatan, harta, atau keluarga. Umpamanya, seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya, sedang si anak tersebut dalam keadaan sakit, lalu ada orang yang menyarankan kepada si ayah tersebut agar si anak yang sakit itu dibawa ke dukun. Dikarenakan saking sayangnya kepada si anak tersebut akhirnya si ayah datang ke dukun dan mengikuti apa yang disarankan oleh si dukun tersebut. Maka dengan demikian si anak tersebut telah memalingkan si ayah tadi dari Tauhid, dan berarti si anak telah menjadi andad. Sedangkan Allah berfirman:
“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah [2]: 22)
Ini semua adalah tentang andad, dan singkatnya adalah segala sesuatu yang memalingkan seseorang dari Tauhid dan Al Islam disebut andad.
4. Thaghut.
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut…” (QS. An Nahl [16]: 36)
Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah Ta’ala berfirman:
“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh (laa ilaaha ilallaah)” (QS. Al Baqarah [2]: 256)
Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut, maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.
Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.
Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:
1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah.
Ibadah adalah hak khusus Allah, maka ketika dipalingkan kepada selain Allah, itu adalah syirik lagi bathil. Do’a adalah ibadah sebagaimana firman-Nya Ta’ala:
“Berdo’alah kepadaKu, tentu akan Kukabulkan permohonan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menolak beribadah kepadaKu, maka mereka akan masuk nereka Jahannam dalam keadaan hina” (QS. Al Mukmin [40]: 60)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam besabda: “Do’a itu adalah ibadah” Memohon kepada orang-orang yang sudah mati adalah di antara bentuk pemalingan ibadah do’a kepada selain Allah, dan itu harus diyakini bathil, sedang orang yang meyakini bahwa memohon kepada orang atau wali yang sudah mati adalah sebagai bentuk pengagungan terhadap wali tersebut maka dia belum kufur terhadap thaghut.
Sembelihan adalah ibadah, bila dipalingkan kepada selain Allah maka hal tersebut adalah syirik lagi bathil, Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, Sesunggunya shalatku, sembelihanku, hidup dan matiku adalah bagi Allah Rabbul ‘alamin, tiada satu sekutupun bagiNya” (QS. Al An’am [6]: 162-163)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah (tumbal)”. Sedangkan dalam kenyataan, orang yang membuat tumbal, baik berupa ayam atau kambing saat hendak membangun rumah, gedung, jembatan dsb, dia menganggap sebagai tradisi yang patut dilestarikan, maka orang ini tidak kufur terhadap thaghut.
Taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan cara bersedekah makanan adalah ibadah, sedangkan taqarrub kepada jin dan syaitan dengan sesajen adalah syirik lagi bathil. Allah berfirman tentang syiriknya orang-orang Arab dahulu:
“Dan mereka menjadikan bagi Allah satu bahagian dari apa yang telah Allah ciptakan berupa tanaman dan binatang ternak. Mereka mengatakan sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini bagi Allah dan ini bagi berhala-berhala kami…” (QS. Al An’am [6]: 136)
Jadi orang yang menganggap pembuatan dan persembahan sesajen sebagai tradisi yang mesti dilestarikan, berarti dia tidak kufur terhadap thaghut.
Wewenang (menentukan/membuat) hukum/undang-undang/aturan adalah hak Allah. Penyandaran hukum kepada Allah adalah bentuk ibadah kepadaNya, sedangkan bila wewenang itu disandarkan kepada makhluk, maka itu adalah syirik dan merupakan suatu bentuk ibadah kepada makhluk tersebut. Allah Ta’ala berfirman:
$tB tbr߉ç7÷ès? `ÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ HwÎ) [ä!$yJó™r& !$ydqßJçGøŠ£Jy™ óOçFRr& Nà2ät!$t/#uäur !$¨B tAt“Rr& ª!$# $pkÍ5 `ÏB ?`»sÜù=ß™ 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! 4 t�tBr& žwr& (#ÿr߉ç7÷ès? HwÎ) çn$ƒÎ) 4 y7Ï9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍh‹s)ø9$# £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇÍÉÈ
“…(Hak) hukum itu tidak lain adalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepadaNya. Itulah dien yang lurus…” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dalam ayat ini Allah memerintahkan manusia agar tidak menyandarkan hukum, kecuali kepada Allah, dan Allah namakan penyandaran hukum itu sebagai ibadah, sehingga apabila disandarkan kepada makhluk, maka hal itu adalah perbuatan syirik, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan janganlah kalian memakan dari (sembelihan) yang tidak disebutkan nama Allah padanya, sesungguhnya hal itu adalah fisq. Dan sesungguhnya syaitan mewahyukan kepada wali-walinya untuk mendebat kalian, dan bila kalian menta’ati mereka maka sungguh kalian ini adalah orang-orang musyrik” (QS. Al An’am [6]: 121)
Kita mengetahui dalam ajaran Islam bahwa sembelihan yang tidak memakai nama Allah adalah bangkai dan itu haram, sedangkan dalam ajaran kaum musyrikin adalah halal. Syaitan membisikan kepada wali-walinya, “Hai Muhammad, ada kambing mati di pagi hari, siapakah yang membunuhnya?” maka Rasulullah menjawab, “Allah yang telah mematikannya” Mereka berkata, “Kambing yang telah Allah sembelih (maksudnya bangkai) dengan tanganNya Yang Mulia kalian haramkan, sedangkan yang kalian sembelih dengan tangan-tangan kalian, kalian katakan halal, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah” [HR. Hakim]
Ucapan tersebut adalah wahyu syaitan untuk mendebat kaum muslimin agar setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah, dan agar setuju dengan penyandaran hukum kepada mereka, maka Allah tegaskan, bahwa apabila mereka (kaum muslimin) setuju dengan hal itu berarti mereka telah musyrik.
Dan dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Mereka (orang-orang Nashrani) telah menjadikan para Harb (ahli ilmu/ulama) dan para Rahib (ahli ibadah) sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah. Juga Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan Yang Haq kecuali Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah vonis orang-orang Nashrani sebagai berikut:
- Mereka telah mempertuhankan para ahli ilmu dan para rahib
- Mereka telah beribadah kepada selain Allah
- Mereka telah musyrik
Juga para ahli ilmu dan para rahib tersebut Allah vonis mereka sebagai arbab.
Di dalam atsar yang hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membacakan ayat itu dihadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka itu” [HR. At Tirmidzi]
Jadi orang Nashrani divonis musyrik karena mereka setuju dengan penyandaran hukum kepada ahli ilmu dan para rahib, meskipun itu menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sedangkan pada masa sekarang, orang meyakini bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik, atau minimal boleh menurut mereka. Padahal demokrasi berintikan pada penyandaran wewenang hukum kepada kedaulatan rakyat atau wakil-wakilnya, sedangkan ini adalah syirik, maka orang tersebut tidak kufur terhadap thaghut dan dia itu belum muslim. Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan semua peribadatan di atas:
“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq, dan sesungguhnya apa yang mereka seru selain Dia adalah bathil…” (QS. Luqman [31]: 30)
Juga firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Itu dikarenakan sesungguhnya Allah adalah satu-satunya Tuhan Yang Haq dan sesungguhnya apa yang mereka seru selainNya adalah yang bathil…” (QS. Al Hajj [22]: 62)
2. Engkau meninggalkannya
Meyakini perbuatan syirik itu adalah bathil belumlah cukup, namun harus disertai. meninggalkan perbuatan syirik itu. Orang yang meyakini pembuatan tumbal/sesajen itu bathil, akan tetapi karena takut akan dikucilkan masyarakatnya lalu ia melakukan hal tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Orang yang meyakini bahwa demokrasi itu syirik, tetapi dengan dalih ‘Maslahat Dakwah’ lalu ia masuk kedalam sistem demokrasi tersebut, maka dia tidak kufur terhadap thaghut. Seperti orang yang membuat partai-partai berlabel Islam dalam rangka ikut dalam ‘Pesta Demokrasi’
Sesungguhnya kufur terhadap thaghut menuntut seseorang untuk meninggalkan dan berlepas diri dari kemusyrikan tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Juga firman-Nya Ta’ala tentang Ibrahim ‘alaihissalam:
“Dan saya tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Allah” (QS. Maryam [19]: 48)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi akan laa ilaaha ilallaah…” (Muttafaq ‘alaih)
Sedangkan orang yang tidak meninggalkan syirik, maka dia itu tidak dianggap syahadatnya, karena yang dia lakukan bertentangan dengan apa yang dia ucapkan, oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Dan siapa yang bersyahadat laa ilaaha ilallaah, namun disamping ibadah kepada Allah, dia beribadah kepada yang lain juga, maka syahadatnya tidak dianggap, meskipun dia shalat, shaum, zakat dan melakukan amalan Islam lainnya” [Ad Durar As Saniyyah: 1/323, Minhajut Ta’sis: 61].
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya” [Ad Durar As Saniyyah: 2/545]. Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” [Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah Tauhid].
Orang berbuat syirik, dia tidak merealisasikan firman-Nya:
“Dan mereka itu tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah seraya memurnikan seluruh ketundukan kepadaNya” (QS. Al Bayyinah [98]: 5).
Orang yang melakukan syirik akbar meskipun tujuannya baik maka dia tetap belum kufur terhadap thaghut.
Al Imam Su’ud Abdil Aziz Ibnu Muhammad Ibnu Su’ud rahimahullah berkata: “Orang yang memalingkan sedikit dari (ibadah) itu kepada selain Allah, maka dia itu musyrik, sama saja dia itu ahli ibadah atau orang fasik, dan sama saja maksudnya itu baik atau buruk” [Durar As Saniyyah: 9/270].
Syaikh Sulaiman Ibnu Abdillah Ibnu Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya pelafalan laa ilaaha ilallaah tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan tuntutannya berupa komitmen terhadap tauhid, meninggalkan syirik, dan kufur kepada thaghut maka sesungguhnya hal itu (syahadat) tidak bermanfaat, atas ijma (para ulama)” [Kitab Taisir]
Syaikh Hamd Ibnu Athiq rahimahullah berkata: “Para ulama ijma, bahwa siapa yang memalingkan sesuatu dari dua macam do’a kepada selain Allah, maka dia telah musyrik meskipun dia mengucapkan Laa ilaaha ilallaah Muhammadur Rasulullah, dia shalat, shaum dan mengaku muslim” [Ibthal At Tandid: 76].
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Orang tidak disebut muwahhid kecuali dengan cara menafikan syirik dan bara’ah darinya”
Jadi, orang yang tidak meninggalkan syirik, dia tidak kufur terhadap thaghut.
3. Engkau Membencinya
Orang yang meninggalkan perbuatan syirik akan tetapi dia tidak membencinya, maka dia belum kufur terhadap thaghut. Ini dikarenakan Allah mensyaratkan adanya kebencian terhadap syirik dalam merealisasikan tauhid kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman tentang Ibrahim ‘alayhissalam.:
“Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian ibadati” (QS. Az Zukhruf [43]: 26)
Kata bara’ (berlepas diri) dari syirik itu menuntut adanya kebencian akan adanya syirik itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”
Kebencian terhadap syirik ini harus berbentuk realita (ada tindakan nyatanya, ed.), yaitu dengan tidak hadir di majelis syirik saat syirik sedang berlangsung. Sebagai contoh: orang yang hadir di tempat membuat atau mengubur tumbal yang sedang dilakukan, maka dia itu sama dengan pelakunya. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh Dia telah menurunkan kepada kalian dalam Al Kitab, yaitu bila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain, karena sesungguhnya kalian (bila duduk bersama mereka saat hal itu dilakukan), berarti sama (status) kalian dengan mereka” (QS. An Nisa [4]: 140)
Jadi orang yang duduk dalam majelis di mana kemusyrikan atau kekufuran sedang berlangsung atau sedang dilakukan atau dilontarkan (diucapkan) dan dia duduk tanpa dipaksa dan tanpa mengingkari hal tersebut maka dia sama kafir dan musyrik seperti para pelaku kemusyrikan tersebut.
Seandainya tidak dapat mengingkari dengan lisannya, maka hal tersebut harus diingkari dengan hatinya yang berbentuk sikap meninggalkan majelis tersebut. Sungguh sebuah kesalahan fatal orang yang mengatakan: “Saya ingkar dan benci di hati saja” sedangkan dia tidak pergi meninggalkan majelis tersebut.
Oleh karenanya para shahabat pada masa khalifah Utsman radliyallahu ‘anhu berijma atas kafirnya seluruh jama’ah mesjid di kota Kuffah saat salah seorang di antara mereka mengatakan: “Saya menilai apa yang dikatakan Musailamah itu bisa jadi benar” dan yang lain hadir di mesjid itu tanpa mengingkari ucapannya seraya pergi darinya”. [Riwayat para penyusun As Sunan / Ashhabus Sunan]
Orang yang tidak membenci ajaran syirik, agama kuffar, sistem kafir, dan thaghut berarti ia tidak kufur terhadap thaghut.
4. Engkau Mengkafirkan Pelakunya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkafirkan para pelaku syirik akbar dalam banyak ayat, di antaranya:
“…Dan orang-orang yang menjadikan sembahan-sembahan selain Allah, (mereka mengatakan): “Kami tidak beribadah kepada mereka, melainkan supaya mereka itu mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah memutuskan di antara mereka di hari kiamat dalam apa yang telah mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang yang dusta lagi sangat kafir”. (QS. Az Zumar [39]: 3)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Dan siapa yang menyeru ilaah yang lain bersama Allah yang tidak ada bukti dalil kuat buat itu baginya, maka perhitungannya hanyalah disisi Rabnya, sesungguhnya tidak beruntung orang-orang kafir itu” (QS. Al Mukminun [23]: 117)
Bila Allah mengkafirkan para pelaku syirik, maka orang yang tidak mengkafirkan mereka berarti tidak membenarkan Allah. Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga telah memerintahkan untuk mengkafirkan para pelaku syirik, di antaranya adalah firman-Nya:
“…Dan dia menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah supaya dia menyesatkan dari jalanNya, katakanlah, “Nikmatilah kekafiranmu sebentar, sesungguhnya kamu tergolong penghuni neraka” (QS. Az Zumar [39]:
Dan orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik, berarti dia menolak perintah Allah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam besabda: “Siapa yang mengucapkan Laa ilaaha ilallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah harta dan darahnya, sedangkan perhitungannya adalah atas Allah” (HR. Muslim)
Para imam dakwah Najdiyyah telah menjelaskan maksud sabda nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah” maksud kalimat tersebut adalah: Mengkafirkan pelaku syirik dan berlepas diri dari mereka dan dari apa yang mereka ibadati [Durar As Saniyyah: 291]
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar adalah orang yang tidak kufur kepada thaghut:
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Orang yang tidak mengkafirkan para pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia telah kafir” [Risalah Nawaqidlul Islam]
Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Seseorang tidak menjadi muwahhid, kecuali dengan menafikan syirik, berlepas diri darinya dan mengkafirkan pelakunya” [Syarh Ashli Dienil Islam - Majmu’ah Tauhid]
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata: “Dan sebagian ulama memandang bahwa hal ini (mengkafirkan pelaku syirik) dan jihad diatasnya adalah salah satu rukun yang mana Islam tidak tegak tanpanya” (Mishbahuzh Zhalam: 28). Beliau berkata lagi: “Adapun menelantarkan jihad dan tidak mengkafirkan orang-orang murtad, orang yang menjadikan andaad (tandingan-tandingan) bagi Tuhannya, dan orang yang mengangkat andaad dan arbaab (tuhan-tuhan) bersamaNya, maka sikap seperti ini hanyalah ditempuh oleh orang yang tidak beriman kepada Allah dan RasulNya. Orang yang tidak mengagungkan perintahNya, tidak meniti jalanNya dan tidak mengagungkan Allah dan Rasul-Nya dengan pengagungan yang sebenar-benarnya pengagungan terhadapNya, bahkan dia itu tidak menghargai kedudukan ulama dan para imam umat ini dengan selayaknya” [Mishbahuzh Zhalam: 29]
Para imam dakwah Nejed berkata: “Di antara hal yang mengharuskan pelakunya diperangi adalah sikap tidak mengkafirkan pelaku-pelaku syirik atau ragu akan kekafiran mereka karena sesungguhnya hal itu termasuk pembatal dan penggugur keIslaman. Siapa yang memiliki sifat ini maka dia telah kafir, halal darah dan hartanya serta wajib diperangi sehingga dia mengkafirkan para pelaku syirik” [Durar As Saniyyah: 9/291]
Mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya orang yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, dia itu tidak membenarkan Al Qur’an, karena sesungguhnnya Al Qur’an telah mengkafirkan para pelaku syirik dan memerintahkan untuk mengkafirkan mereka, memusuhi mereka dan memerangi mereka” [Ad Durar As Saniyyah: 9/291]
Jadi, takfir (mengkafirkan) para pelaku syirik adalah bagian Tauhid dan pondasi dien ini, bukan fitnah sebagaimana yang diklaim oleh musuh-musuh Allah dari kalangan ulama suu’ (ulama jahat) kaki tangan thaghut dan kalangan neo murji’ah. Orang mengkafirkan pelaku syirik bukanlah Khawarij, justeru mereka itu adalah penerus dakwah rasul-rasul. Orang yang menuduh mereka sebagai Khawarij adalah orang yang tidak paham akan dakwah para rasul.
Syaikh Abdul Lathif Ibnu Abdirrahman rahimahullah berkata: “Siapa yang menjadikan pengkafiran dengan syirik akbar termasuk ‘aqidah Khawarij, maka sungguh dia telah mencela semua rasul dan umat ini. Dia tidak bisa membedakan antara Dien para rasul dengan madzhab Khawarij, dia telah mencampakan nash-nash Al Qur’an dan dia mengikuti selain jalan kaum muslimin” [Mishbahuzh zhalam: 72]
Orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik akbar secara nau’ (jenis pelaku) maka dia kafir, sedangkan orang yang membedakan antara nau’ dengan mu’ayyan (orang tertentu) maka minimal jatuh dalam bid’ah dan bila (sudah) ditegakkan hujjah atasnya, maka dia kafir juga.
Orang yang tidak mau mengkafirkan para pelaku syirik, pada umumnya dia lebih loyal kepada pelaku syirik dan justru memusuhi para muwahhid yang mengkafirkan pelaku syirik. Demikianlah realita yang terjadi, sehingga banyak yang jatuh dalam kekafiran. Tidaklah sah shalat dibelakang orang yang tidak mengkafirkan pelaku syirik secara mu’ayyan.
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: “Siapa yang membela-bela mereka (para thaghut dan pelaku syirik akbar) atau mengingkari terhadap orang yang mengkafirkan mereka, atau mengklaim bahwa: ‘perbuatan mereka itu meskipun bathil, tetapi tidak mengeluarkan mereka pada kekafiran’, maka status minimal orang yang membela-bela ini adalah fasiq, tidak diterima tulisannya, tidak pula kesaksiannya, serta tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya” [Ad Durar As Saniyyah: 10/53]
Ini adalah status minimal, adapun kebanyakannya berstatus sebagaimana yang digambarkan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah: “Orang-orang yang merasa keberatan dengan masalah takfir, bila engkau mengamati mereka ternyata kaum muwahhidin adalah musuh mereka, mereka benci dan dongkol kepada para muwahhid itu. Sedangkan para pelaku syirik dan munafiqin adalah teman mereka yang mana mereka bercengkrama dengannya. Akan tetapi hal seperti ini telah menimpa orang-orang yang pernah bersama kami di Dir’iyah dan Uyainah yang mana mereka murtad dan benci akan dien ini” [Ad Durar As Saniyyah: 10/92]
5. Engkau Memusuhi Mereka
Orang yang tidak memusuhi pelaku syirik bukanlah orang yang kufur kepada thaghut, Allah berfirman tentang ajaran Ibrahim ‘alayhissalam. Dan para nabi yang bersamanya:
“Dan tampak antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian selamanya hingga kalian beriman kepada Allah saja” (QS. Al Mumtahanah [60]: 4)
Dan firman-Nya Ta’ala:
“Kalian tidak mungkin mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan RasulNya, meskipun mereka itu ayah-ayahnya, anak-anaknya, saudara-saudaranya atau karib kerabatnya” (QS. Al Mujaadilah [58]: 22)
Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya orang tidak tegak keIslamannya walaupun ia mentauhidkan Allah dan meninggalkan kemusyrikan kecuali dengan memusuhi para pelaku syirik” [Syarh Sittati Mawadli Minas Sirah, Majmu At Tauhid: 21]
Permusuhan lainnya adalah loyalitas kepada orang kafir. Menafikan (meniadakan) keimanan/tauhid, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa yang berloyalitas kepada mereka (orang-orang kafir) di antara kalian, maka sesungguhnya dia adalah bagian dari mereka” (QS. Al Maaidah [5]: 51)
Karena permusuhan ini Allah Ta’ala berfirman:
“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di manapun kalian mendapati mereka, tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka ditempat pengintaian” (QS. At Taubah [9]: 5)
Semua ini adalah cara kufur kepada thaghut… dan penjelasan tentang siapakah thaghut insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.
Akhir kata alhamdulillaahirabbil ‘aalamiin.
0 komentar:
Posting Komentar